Bookstagram juga menciptakan fenomena "Book Hype" atau hype buku, di mana buku tertentu mendadak viral dan dicari-cari oleh banyak orang. Tak sedikit yang ingin merasakan sensasi membaca buku yang sedang dibicarakan atau sekadar ingin menjadi bagian dari tren itu sendiri. Misalnya, siapa yang bisa lupa dengan fenomena The Midnight Library atau It Ends With Us yang sempat jadi perbincangan di berbagai platform Bookstagram? Buku-buku ini, berkat ulasan dan foto-foto menarik di Bookstagram, langsung masuk dalam daftar incaran banyak pembaca.
Namun, hype semacam ini bisa punya dua sisi. Di satu sisi, hal ini membantu meningkatkan penjualan buku dan membuka peluang bagi penulis baru. Tapi di sisi lain, kadang hype terlalu berlebihan sehingga menimbulkan ekspektasi tinggi yang akhirnya membuat beberapa pembaca merasa kecewa saat isinya tak sesuai harapan. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa Bookstagram berhasil menggerakkan roda literasi dan membuat buku menjadi topik menarik yang layak diperbincangkan.
 Efek Bookstagram Terhadap Dunia Penerbitan dan Penulis
Bukan hanya pembaca yang merasakan manfaat dari tren Bookstagram, tetapi juga dunia penerbitan dan para penulis. Banyak penerbit yang kini memanfaatkan Bookstagram sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka. Beberapa penerbit bahkan secara aktif mengirimkan advanced reading copy (ARC) kepada Bookstagrammers populer dengan harapan ulasan mereka dapat membantu meningkatkan minat pembaca terhadap buku tersebut. Ini adalah bentuk promosi yang tidak hanya efektif tetapi juga terjangkau, dibandingkan dengan iklan di media cetak atau televisi.
Bagi penulis, terutama penulis baru, Bookstagram adalah platform yang memungkinkan karya mereka dikenal lebih luas. Melalui ulasan dan rekomendasi yang diberikan oleh Bookstagrammers, buku mereka bisa menjangkau khalayak yang mungkin sebelumnya tidak tahu atau tidak tertarik pada buku tersebut. Penulis juga bisa terhubung langsung dengan para pembaca mereka melalui kolom komentar atau sesi *Q&A*, sehingga tercipta hubungan yang lebih dekat antara penulis dan pembaca.
Tantangan di Balik Tren Bookstagram
1. Tekanan untuk Menampilkan Buku Secara Estetis
Salah satu daya tarik utama Bookstagram adalah tampilan visualnya yang indah. Namun, ini juga bisa menjadi tekanan tersendiri bagi pengguna, terutama mereka yang ingin membuat akun Bookstagram tetapi merasa kurang mampu menampilkan foto yang cukup estetis. Seringkali, pengguna merasa "tidak cukup baik" karena tidak memiliki alat fotografi profesional atau tidak memiliki buku-buku dengan sampul cantik. Hal ini dapat membuat sebagian orang enggan terlibat lebih jauh.
2. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out)Â
Fenomena Bookstagram yang selalu mengedepankan tren buku baru bisa menimbulkan perasaan takut tertinggal (FOMO) pada pembaca. Banyak yang akhirnya membeli buku hanya karena sedang populer di Bookstagram, bukan karena mereka benar-benar tertarik dengan isinya. Ini bisa menjadi tantangan bagi pembaca untuk tetap membaca dengan tujuan yang sebenarnya, yaitu menikmati dan memahami isi buku, bukan sekadar mengikuti tren.
3. Risiko Konten yang Cenderung Komersial
Bookstagram yang awalnya berfungsi sebagai platform berbagi ulasan independen, lambat laun mulai dipenuhi dengan konten berbayar atau promosi. Meski ini tidak salah, namun terkadang membuat para pengguna mempertanyakan keaslian ulasan yang diberikan. Apakah benar rekomendasi tersebut tulus atau hanya untuk kebutuhan promosi?
Masa Depan Bookstagram: Beranjak dari Visual ke Narasi yang Lebih Dalam
Di tengah segala dinamika dan tantangan yang ada, Bookstagram terus berevolusi. Kini, beberapa Bookstagrammers mulai mengedepankan narasi yang lebih dalam ketimbang sekadar visual estetis. Mereka lebih banyak berbagi tentang dampak buku terhadap kehidupan mereka atau pemikiran kritis terhadap isi buku yang mereka baca. Beberapa bahkan menjadikan Bookstagram sebagai ruang untuk membahas topik-topik sosial dan psikologis yang diangkat dalam buku, memberikan makna lebih dalam pada aktivitas membaca.