Aku membalas, "Mungkin yang cocok jadi pemimpin itu ya yang bisa mikir kayak kita, Bu. Yang ngerti bahwa yang kita mau itu sederhana, nggak muluk-muluk. Cukup bikin hidup kita sedikit lebih mudah."
Di akhir obrolan, Bu Wati menulis, "Iya, Bu Laila, siapa tahu nanti ibu beneran dipilih jadi menteri. Kita doain aja."
Aku tertawa sambil membalas pesan itu, "Aamiin, Bu. Tapi, biar gimana pun, Bu Laila tetaplah cuma ibu rumah tangga biasa. Tapi yang penting, walau kita cuma ibu-ibu, suaranya tetap penting."
Di antara candaan mereka yang memanggilku "Bu Menteri" dan harapan-harapan sederhana itu, aku menyadari kalau ternyata kami, ibu-ibu di sini, bukan sekadar menonton atau menebak. Kami ikut berharap, menyuarakan impian sederhana yang mungkin suatu saat bisa didengar.Â
Dengan senyum, aku mengetik pesan terakhir di grup, "Ayo, ibu-ibu, kita tetap semangat! Biar kita cuma di rumah, suara kita tetap bisa menggetarkan dapur politik negeri ini."
Dan di situ, Bu Yani langsung menimpali, "Lapor, Bu Menteri!"
Aku hanya tertawa, mengakhiri pagi itu dengan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H