Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siapa Paling Tahu Jalan?

8 Oktober 2024   09:27 Diperbarui: 8 Oktober 2024   10:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di bawah terik matahari siang yang menyengat, angin lembut menerpa wajah para tukang becak di pangkalan. Suara becak berderit, bercampur tawa mereka yang kadang diselingi debat ringan. Seperti biasa, hari itu mereka menunggu penumpang sambil bercengkrama. Namun, obrolan hari itu sedikit berbeda. 

"Ah, rute Rahmat lewat gang belakang itu jelas lebih cepat. Kau tahu, kan, kalau pagi jalan depan sering macet?" kata Pak Wira sambil menyandarkan tubuhnya ke becaknya.

Rahmat, tukang becak yang dikenal tenang, hanya mengangguk sedikit dengan senyum tipis. "Betul juga, Pak Wira. Tapi kalau siang, rute saya lewat pemakaman lebih cepat. Kalau nggak percaya, tanya saja Pak Hadi!"

Pak Hadi, yang sedang sibuk menghisap rokok kreteknya, langsung tertawa. "Halah! Jangan percaya sama Rahmat. Lewat pemakaman? Itu rute lama, sekarang jalannya rusak! Kalau kalian mau cepat, rute saya lewat pasar jelas lebih baik."

Percakapan mereka semakin memanas. Setiap tukang becak punya "jalan pintas" versi mereka sendiri. Hingga, tanpa mereka sadari, seorang turis asing berdiri di dekat mereka, mengamati dengan senyum penasaran. Laki-laki itu mengangkat tangannya, mencoba menarik perhatian.

"Excuse me, sir... can you take me to...," turis itu menunjuk secarik kertas yang terlipat rapi di tangannya. 

Pak Wira, Pak Hadi, dan Rahmat segera terdiam, saling berpandangan dengan tatapan penuh arti. Seolah tantangan ini adalah momen pembuktian siapa yang paling tahu jalan di kota mereka.

Pak Wira tersenyum ramah, "Saya bisa antarkan, Pak. Mudah kok lewat jalan saya."

Namun, sebelum ia sempat naik ke becak, Rahmat sudah memotong, "Pak Wira, bukannya lebih baik lewat jalan saya saja? Lebih cepat dan aman."

"Ah, pokoknya rute saya yang tercepat," tukas Pak Hadi tak mau kalah.

"Rute saya lebih cepat, Pak! Lewat jalan pintas, nggak macet!" seru Pak Wira, penuh semangat.

Pak Hadi langsung menimpali, "Ah, tapi kalau sama saya lebih aman, Pak! Nggak bakal terguncang-guncang."

Rahmat tak mau kalah, "Biar lambat asal selamat, kan, Pak? Saya tahu jalanan sini kaya telapak tangan sendiri."

Turis itu hanya tersenyum bingung melihat ketiga tukang becak yang bersikeras mengklaim rute terbaik. Akhirnya, ia mengangguk ke arah Rahmat dan naik ke becaknya. Sejenak, Pak Wira dan Pak Hadi hanya bisa menghela napas kesal, merasa kalah dalam persaingan.

Mereka pun memulai perjalanan. Namun, setelah melewati beberapa belokan, jalan mulai terasa asing. Gang yang biasanya menjadi jalan pintas malah penuh dengan tumpukan sampah dan becak yang parkir sembarangan.

Rahmat mulai berkeringat. "Eh, biasanya ini jalan aman. Kok jadi gini, ya?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.

Pak Wira dan Pak Hadi yang ikut dalam konvoi becak di belakangnya mulai bersorak kecil, seolah merayakan kegagalan Rahmat.

"Nah kan, kubilang rute ini jelek!" seru Pak Hadi. "Sudah, lewat rute saya saja!"

Rahmat pun akhirnya menyerah dan mengikuti arahan Pak Hadi. Namun, beberapa menit kemudian, mereka kembali menemui jalan buntu.

"Lho, kok jadi begini?" Pak Hadi garuk-garuk kepala, merasa malu di depan turis itu yang tampak semakin kebingungan.

"Maaf, Sir...I think...we need... little time," Pak Hadi berusaha menjelaskan dengan bahasa Inggris patah-patah.

Saat itulah, seorang anak kecil yang tengah membawa layang-layang melintas. Bocah itu berhenti dan memperhatikan para tukang becak yang kebingungan.

"Bapak-bapak, nyari jalan ya?" tanyanya polos.

Para tukang becak itu saling berpandangan, lalu Pak Wira dengan malu-malu menjawab, "Iya, Nak. Kamu tahu jalan ke alamat ini?" Ia menunjuk secarik kertas di tangan turis itu.

Anak kecil itu mengangguk mantap. "Oh, itu dekat sekolah saya! Lewat gang belakang situ terus belok kiri, nanti ketemu deh," katanya sambil menunjuk jalan yang tak mereka duga.

Dengan penuh rasa malu, para tukang becak mengikuti arahan si anak kecil. "Maaf ya, Pak. Ke kiri sedikit lagi," ujar si anak kecil sambil menunjuk jalan. Para tukang becak itu menurut, meski tampak canggung. 

"Nah, belok kanan di sini, Pak. Sudah dekat, kok," lanjutnya dengan penuh percaya diri, sementara para tukang becak saling berpandangan, setengah malu. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, mereka tiba di tempat yang dimaksud. 

Si turis tersenyum lega, menatap anak kecil itu dengan rasa terima kasih. "Thank you very much! You've been a great help," katanya sambil memberikan tip yang cukup besar. Bocah itu hanya mengangguk dengan senyum lebar, bangga bisa membantu.

Setelah turis itu pergi, Pak Wira, Pak Hadi, dan Rahmat hanya bisa menatap jalanan dengan perasaan campur aduk. 

Rahmat tertawa kecil, mengusap kepalanya. "Hidup ini lucu ya, kita ini yang katanya paling tahu jalan malah kalah sama bocah kecil."

Pak Hadi, sambil menghela napas panjang, menepuk pundak Rahmat. "Mungkin kita terlalu sibuk membuktikan diri, sampai lupa kalau jalan itu sering berubah. Kadang yang kita kira tahu, malah kita paling nggak tahu."

Pak Wira mengangguk, menatap jauh ke arah gang yang mereka lewati tadi. "Iya, mungkin kita terlalu bangga sama rute kita sendiri, sampai nggak lihat kalau ada jalan lain yang lebih baik."

Di bawah matahari yang semakin terik, mereka akhirnya tersenyum satu sama lain. "Ternyata capek juga ya, dorong becak keliling kota," ujar Rahmat sambil mengusap keringat di dahinya. "Iya," jawab Pak Hadi dan Pak Wira serempak.  Mereka saling pandang sejenak, meresapi pelajaran yang lebih dari sekadar mengenal jalan kota. "Mungkin ini cara Tuhan ngajarin kita buat lebih rendah hati," tambah Rahmat pelan. Pak Hadi mengangguk setuju, "Iya, hari ini kita dapet lebih dari yang kita cari."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun