Aku menundukkan kepala. "Iya... aku sering terlambat menyerahkan tugas, sering tertidur di kelas... tapi tidak ada yang bertanya kenapa. Mereka hanya mengira aku malas. Padahal aku... aku tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang pernah melihatku, Pak."
Bu Retno bergeser mendekat dan menggenggam tanganku. "Kami minta maaf, Bima. Kami seharusnya lebih peka terhadap apa yang terjadi. Kami seharusnya bertanya lebih awal."
Pak Heru menghela napas panjang, wajahnya penuh penyesalan. "Kami benar-benar tidak menyadari apa yang kamu alami. Ini bukan salahmu, Bima. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kami minta maaf, Bima. Terkadang, kami terlalu fokus pada akademik, sehingga melupakan hal-hal yang lebih penting."
Bu Retno menggenggam tanganku dengan lembut. "Mulai sekarang, kamu tidak akan sendiri lagi, Bima. Kami ada di sini untuk membantu."
Aku hanya menatap mereka, merasakan beban di dadaku perlahan-lahan terangkat. Meskipun luka-luka itu belum sepenuhnya sembuh, setidaknya aku tahu sekarang ada yang peduli. Aku tidak lagi tak terlihat.
Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar dilihat.
---
Di sudut ruang kelas, aku melihat ke arah Bu Retno yang sedang mengajar. Ada kehangatan dalam caranya tersenyum padaku. Aku tersenyum balik, kali ini dengan hati yang lebih ringan.
Pernahkah kamu melihat aku? Sekarang, jawabannya adalah "ya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI