Suara gemuruh gong menyatu dengan dering biola yang ditarik cepat oleh Pak Samin, ketua kelompok orkes rakyat dari Desa Wonosari. Malam itu, panggung kayu sederhana yang dibangun di tengah alun-alun kampung penuh sorak tawa. Lampu minyak yang menggantung di tiang bambu memancarkan cahaya redup, menambah suasana akrab di malam September yang sejuk. Tak ada yang tahu bahwa jauh di sana, di ibu kota, sejarah sedang berputar ke arah yang mengerikan.
"Pak Samin, tambah lagi lagunya! Sekali lagi, ayo! 'Jali-jali'!" teriak seorang pemuda dari barisan penonton yang berdiri di sekitar panggung. Lainnya ikut bersorak, meminta encore.Â
Pak Samin mengangguk, senyum ramah tersungging di wajah tuanya yang keriput. Meski lelah, sorak-sorai penduduk membuatnya terus bertahan di depan orkesnya. Di sampingnya, Siti, penyanyi muda desa yang baru bergabung dengan kelompok orkes, menarik napas dalam, bersiap-siap kembali bernyanyi.
"Baiklah, satu lagi," kata Siti dengan suara lembut tapi penuh semangat.
Musik kembali menggema, kali ini lebih riang, seolah dunia di luar sana tak ada artinya. Anak-anak berlarian di sekeliling panggung, sementara para orang tua duduk di tikar yang digelar di tanah, tersenyum, menikmati malam yang penuh kegembiraan.
"Biar begini terus ya, Pak," ujar Roni, seorang penonton yang duduk dekat panggung. "Damai, tenang, tak ada yang mengganggu."
Pak Samin tersenyum tipis, sambil menyapukan pandangannya ke arah kampung. "Iya, Nak. Harapannya begitu. Hidup di desa ini, yang penting rukun. Apa lagi yang kita butuhkan?"
Namun di balik semua itu, ada rasa gelisah yang tak mampu mereka tangkap. Ada desas-desus di warung-warung, di jalan setapak menuju sawah, bahwa kota sedang bergolak. Sebagian orang mendengar kabar dari radio yang bersuara samar tentang gerakan militer di Jakarta, tapi mereka tak benar-benar paham.
Di tengah lagu yang meriah, tiba-tiba terdengar suara deru kendaraan. Dari kejauhan, terlihat lampu sorot berkilat di ujung jalan masuk desa.
Seketika suasana berubah. Alunan musik mulai tersendat, satu per satu pemain alat musik terdiam. Siti menghentikan nyanyiannya, menoleh ke Pak Samin dengan tatapan bingung. Suara gemuruh mesin semakin mendekat.
"Pak, itu apa?" bisik Siti, matanya membesar.
Pak Samin, yang biasa tenang, tampak ragu sejenak. "Tenang saja. Mungkin ada tamu dari kota yang ingin ikut menikmati musik."
Namun, mereka semua tahu bahwa sesuatu yang lebih serius sedang terjadi. Warga yang duduk di dekat jalan mulai berdiri, menggeser tubuh mereka perlahan, menjauh dari arah datangnya suara.
Tak lama kemudian, sebuah truk militer besar berhenti di depan alun-alun. Beberapa tentara turun dengan senjata di tangan, wajah mereka tegang dan penuh ketegasan. Pak Samin merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Selamat malam, Pak," seorang perwira berbicara keras, mendekat ke panggung. "Mohon maaf, kami harus menghentikan acara ini. Situasi di kota tidak baik. Ada larangan berkumpul."
Suasana yang semula meriah tiba-tiba terbalik. Wajah-wajah yang tadinya tersenyum kini berubah tegang, ketakutan mulai menyelimuti. Di antara para penonton, beberapa ibu mulai menarik anak-anak mereka menjauh dari alun-alun.
Pak Samin memberanikan diri untuk berbicara. "Maaf, Pak. Kami hanya mengadakan orkes desa. Kami tidak tahu ada apa-apa di kota."
Perwira itu menghela napas, tampaknya sedikit melunak. "Bukan salah kalian. Namun, perintah ini dari atas. Semua bentuk keramaian harus dibubarkan. Kami sedang dalam operasi darurat."
Di belakang perwira, beberapa tentara lain mulai menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu atau seseorang. Warga desa semakin bingung dan cemas. Roni, yang tadi ikut bersorak, sekarang berbisik dengan nada panik pada temannya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tentara ada di sini?"
Pak Samin mencoba meredakan suasana. "Baiklah, kami akan menghentikan pertunjukan. Tidak perlu khawatir, warga. Kita semua pulang saja."
Namun, sebelum siapa pun bisa bergerak, seorang prajurit lainnya datang dengan terburu-buru dan membisikkan sesuatu di telinga perwira. Ekspresi wajah sang perwira berubah tegang.
"Jangan ada yang bergerak dulu," katanya tegas, suaranya mendadak penuh otoritas. "Kami perlu memastikan keamanan di desa ini."
Ketakutan menjalar cepat di antara warga. Mereka sudah cukup sering mendengar tentang kekerasan, tentang tentara yang mencari orang-orang yang dianggap terlibat dalam kegiatan subversif, meski tidak pernah benar-benar terjadi di desa mereka sebelumnya. Kini, ketegangan itu terasa begitu dekat, mengancam keamanan kecil yang mereka nikmati selama ini.
"Ada apa sebenarnya, Pak?" tanya Pak Samin, mencoba untuk tetap tenang.
Perwira itu tidak menjawab langsung. Dia hanya memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk mulai menyisir kampung.
Warga mulai bergerak mundur perlahan, tak ingin terlibat. Tapi Pak Samin tetap berdiri di tempatnya. Dia tahu, sebagai ketua orkes dan sesepuh desa, dia harus menjaga wibawa di depan warga.
Akhirnya, perwira itu menjawab dengan nada yang lebih rendah. "Ada gerakan besar di Jakarta malam ini. Kudeta. Kami diperintahkan untuk memastikan tidak ada kegiatan mencurigakan di wilayah ini."
Pak Samin tertegun. "Kudeta? Siapa yang berani...?"
"Sudahlah, Pak. Ini bukan urusan kalian. Kalian hanya perlu mengikuti perintah dan pulang ke rumah masing-masing."
Dengan hati yang berat, Pak Samin mengangguk. Dia memberi isyarat kepada anggota orkes lainnya untuk turun dari panggung. Tanpa sepatah kata, warga mulai bergerak menuju rumah mereka, membawa sisa-sisa kegembiraan yang tadi sempat mereka rasakan.
Di bawah langit malam yang tampak tenang, suara alat musik yang tadi meriah kini hanya meninggalkan kesunyian dan ketidakpastian. Di ibu kota, sejarah sedang berputar. Dan di desa kecil ini, orkes malam yang ceria berubah menjadi malam yang penuh ketakutan dan misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H