"Pak, itu apa?" bisik Siti, matanya membesar.
Pak Samin, yang biasa tenang, tampak ragu sejenak. "Tenang saja. Mungkin ada tamu dari kota yang ingin ikut menikmati musik."
Namun, mereka semua tahu bahwa sesuatu yang lebih serius sedang terjadi. Warga yang duduk di dekat jalan mulai berdiri, menggeser tubuh mereka perlahan, menjauh dari arah datangnya suara.
Tak lama kemudian, sebuah truk militer besar berhenti di depan alun-alun. Beberapa tentara turun dengan senjata di tangan, wajah mereka tegang dan penuh ketegasan. Pak Samin merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Selamat malam, Pak," seorang perwira berbicara keras, mendekat ke panggung. "Mohon maaf, kami harus menghentikan acara ini. Situasi di kota tidak baik. Ada larangan berkumpul."
Suasana yang semula meriah tiba-tiba terbalik. Wajah-wajah yang tadinya tersenyum kini berubah tegang, ketakutan mulai menyelimuti. Di antara para penonton, beberapa ibu mulai menarik anak-anak mereka menjauh dari alun-alun.
Pak Samin memberanikan diri untuk berbicara. "Maaf, Pak. Kami hanya mengadakan orkes desa. Kami tidak tahu ada apa-apa di kota."
Perwira itu menghela napas, tampaknya sedikit melunak. "Bukan salah kalian. Namun, perintah ini dari atas. Semua bentuk keramaian harus dibubarkan. Kami sedang dalam operasi darurat."
Di belakang perwira, beberapa tentara lain mulai menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu atau seseorang. Warga desa semakin bingung dan cemas. Roni, yang tadi ikut bersorak, sekarang berbisik dengan nada panik pada temannya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tentara ada di sini?"
Pak Samin mencoba meredakan suasana. "Baiklah, kami akan menghentikan pertunjukan. Tidak perlu khawatir, warga. Kita semua pulang saja."
Namun, sebelum siapa pun bisa bergerak, seorang prajurit lainnya datang dengan terburu-buru dan membisikkan sesuatu di telinga perwira. Ekspresi wajah sang perwira berubah tegang.