"Jangan ada yang bergerak dulu," katanya tegas, suaranya mendadak penuh otoritas. "Kami perlu memastikan keamanan di desa ini."
Ketakutan menjalar cepat di antara warga. Mereka sudah cukup sering mendengar tentang kekerasan, tentang tentara yang mencari orang-orang yang dianggap terlibat dalam kegiatan subversif, meski tidak pernah benar-benar terjadi di desa mereka sebelumnya. Kini, ketegangan itu terasa begitu dekat, mengancam keamanan kecil yang mereka nikmati selama ini.
"Ada apa sebenarnya, Pak?" tanya Pak Samin, mencoba untuk tetap tenang.
Perwira itu tidak menjawab langsung. Dia hanya memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk mulai menyisir kampung.
Warga mulai bergerak mundur perlahan, tak ingin terlibat. Tapi Pak Samin tetap berdiri di tempatnya. Dia tahu, sebagai ketua orkes dan sesepuh desa, dia harus menjaga wibawa di depan warga.
Akhirnya, perwira itu menjawab dengan nada yang lebih rendah. "Ada gerakan besar di Jakarta malam ini. Kudeta. Kami diperintahkan untuk memastikan tidak ada kegiatan mencurigakan di wilayah ini."
Pak Samin tertegun. "Kudeta? Siapa yang berani...?"
"Sudahlah, Pak. Ini bukan urusan kalian. Kalian hanya perlu mengikuti perintah dan pulang ke rumah masing-masing."
Dengan hati yang berat, Pak Samin mengangguk. Dia memberi isyarat kepada anggota orkes lainnya untuk turun dari panggung. Tanpa sepatah kata, warga mulai bergerak menuju rumah mereka, membawa sisa-sisa kegembiraan yang tadi sempat mereka rasakan.
Di bawah langit malam yang tampak tenang, suara alat musik yang tadi meriah kini hanya meninggalkan kesunyian dan ketidakpastian. Di ibu kota, sejarah sedang berputar. Dan di desa kecil ini, orkes malam yang ceria berubah menjadi malam yang penuh ketakutan dan misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H