Perlahan, harapan mulai tumbuh lagi di hati kami. Desa ini, yang telah lama terpinggirkan, mulai merencanakan cara untuk mendukung Pak Samad dan perpustakaan kelilingnya.
Namun, di tengah perbincangan itu, Pak Samad berdiri dengan wajah penuh keraguan. "Terima kasih. Kalian sangat baik. Tapi aku belum memberitahu satu hal penting."
Semua mata tertuju padanya. "Bukan hanya soal biaya. Ada satu alasan kenapa internet tidak diperbaiki... karena mereka tidak mau lagi berinvestasi di tempat ini."
"Kenapa, Pak?" tanya seseorang di belakang.
Pak Samad menarik napas panjang. "Desa kita akan digusur. Pemerintah sudah menjual lahan ini untuk proyek besar. Ini bukan sekadar soal internet. Desa ini akan hilang."
Semua terdiam. Rencana kami tiba-tiba tak berarti lagi. Aku melihat mata-mata warga yang berubah dari penuh harapan menjadi kebingungan dan ketakutan.
Dan di sanalah aku sadar, bahwa perjuangan kami selama ini mungkin sia-sia. Pak Samad, pustakawan keliling yang berjuang membawa pengetahuan, juga terjebak dalam lingkaran ketidakadilan ini. Kami tak hanya kehilangan internet atau buku, tapi kami akan kehilangan tempat yang kami sebut rumah.
---
Namun, dalam keheningan itu, suara kecil Nadya kembali terdengar, "Kalau desa ini akan hilang, aku tetap ingin belajar sampai saat terakhir."
Pak Samad tersenyum lemah. "Ya, Nak. Kita akan terus belajar. Sampai saat terakhir."
Dan saat itu, di senja terakhir, buku-buku kembali dibuka, dan cerita-cerita mulai mengalir.