Pak Samad menunduk. "Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan ini lagi. Biaya perawatan perpustakaan keliling sudah terlalu tinggi. Bantuan dari pemerintah terhenti, dan aku sudah kehabisan tabungan."
"Jadi ini bukan soal internet yang putus?" tanyaku, menahan rasa kecewa.Â
Pak Samad menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Koneksi internet putus karena mereka yang di kota besar memutuskan untuk tidak memperbaikinya. Anggaran desa seperti ini dianggap tidak menguntungkan. Kita terlalu jauh dari pusat."
Amarah menggelegak dalam hatiku. Bukan karena internet yang hilang, tapi karena desa ini, dengan segala keterbatasannya, selalu dipandang remeh. Dan sekarang, bahkan buku-buku---satu-satunya yang tersisa---pun akan hilang.
---
Tiga minggu sebelum itu, internet masih bekerja. Aku ingat hari itu jelas karena Nadya, yang duduk di bawah pohon besar di pinggir desa, sedang menonton video pembelajaran dari tablet pinjaman sekolah. Matanya bersinar saat Pak Samad datang dengan perpustakaan kelilingnya.
"Kamu masih belajar, Nak?" tanya Pak Samad dengan bangga.
Nadya mengangguk penuh semangat. "Iya, Pak! Ini soal geografi. Saya ingin tahu lebih banyak tentang negara-negara di dunia."
Pak Samad tersenyum. "Buku-buku di perpustakaan ini bisa membantumu, meski tablet itu punya lebih banyak gambar. Tapi buku akan memberimu lebih banyak makna."
Nadya tertawa. "Tablet lebih cepat, Pak. Tapi kalau internet mati, saya akan baca buku Bapak."
Saat itu, aku tidak berpikir bahwa candaan Nadya akan menjadi kenyataan.