"Ara nggak bakal menyesal. Yang ada Ara bakal menyesal kalau harus jalani hidup yang bukan Ara mau."
Hening. Suasana di ruang tamu itu tiba-tiba terasa dingin. Ibu hanya memandang anak gadisnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi rasanya semakin sulit.
Ara mendesah pelan. Ia tahu Ibu tidak akan pernah sepenuhnya mengerti, tapi ia juga lelah berdebat. "Bu, Ara sayang Ibu. Ara pengen Ibu percaya sama pilihan Ara, meskipun Ibu nggak sepenuhnya setuju."
Ibu menatap anaknya dalam-dalam, ada sesuatu di matanya yang membuat Ara merasa sedikit bersalah. Tapi ini hidupnya, pikir Ara. Ia tidak bisa terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang harapan orang lain, meski itu orang yang paling ia sayangi.
"Baiklah," kata Ibu akhirnya. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. "Kalau itu memang pilihanmu, Ibu nggak bisa paksa. Tapi kamu ingat, Ara, hidup nggak selalu mudah. Ibu hanya nggak mau kamu terluka."
Ara terdiam sejenak, mencoba memahami kata-kata ibunya. "Iya, Bu. Ara ngerti. Tapi, biar Ara yang jalanin sendiri. Kalau Ara jatuh, Ara bakal bangun lagi. Setidaknya, Ara akan tahu kalau itu pilihan Ara sendiri."
Setelah percakapan itu, Ara merasa lega sekaligus berat. Ia tahu, meski Ibu berkata akan mendukung, dalam hatinya pasti masih ada rasa ragu dan khawatir. Tapi untuk pertama kalinya, Ara merasa mendapatkan kendali atas hidupnya.
***
Dua tahun kemudian, Ara duduk di sebuah kafe kecil, sibuk menyelesaikan sketsa untuk kliennya. Hidupnya berjalan seperti yang ia impikan, meski tidak selalu mudah. Ia bekerja sebagai freelancer, menciptakan desain-desain untuk berbagai proyek, dari ilustrasi buku hingga mural kafe.
Saat sedang asyik menggambar, ponselnya berdering. Nama "Ibu" muncul di layar. Ara tersenyum dan langsung mengangkatnya.
"Halo, Bu. Ada apa?"