Malam itu, langit Jakarta begitu cerah. Bintang-bintang terlihat bersinar lebih terang dari biasanya, seolah menyambut kedatangan Ica yang berdiri di depan pintu sebuah hotel mewah. Malam reuni sekolahnya baru saja dimulai, dan perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Sudah lebih dari lima belas tahun sejak ia terakhir kali bertemu teman-teman lamanya.
"Ica, ayo masuk!" suara Lani, sahabatnya, terdengar dari kejauhan. Ica tersenyum dan melambaikan tangan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Reuni ini seharusnya menjadi ajang untuk mengenang masa-masa indah di sekolah, namun ada satu orang yang membuat hati Ica berdebar lebih kencang---Rian.
Rian adalah cinta pertamanya. Seorang pemusik berbakat yang pernah membuatkan lagu khusus untuknya. Namun, setelah lulus sekolah, mereka berpisah tanpa pernah ada kejelasan. Masing-masing menjalani hidup sendiri, hingga malam ini, Ica mendengar kabar bahwa Rian akan datang.
"Malam ini pasti seru!" ujar Lani sambil merangkul Ica dan menariknya masuk ke ruangan pesta. Musik mengalun lembut di latar belakang, menyambut para alumni yang sudah mulai berdatangan. Ica memandang sekeliling, mencari sosok yang sudah lama tak ia lihat.
"Ica, kamu baik-baik saja?" tanya Lani dengan tatapan penuh arti.
"Ya, aku hanya sedikit gugup," jawab Ica dengan senyum tipis. "Kupikir aku sudah melupakan semua ini, tapi ternyata... perasaan itu masih ada."
"Well, itu artinya kamu manusia normal. Lagipula, siapa yang bisa lupa cinta pertama?" Lani tertawa kecil dan memeluk Ica. "Sudah, nikmati saja malam ini. Siapa tahu ada kejutan."
Ica menarik napas panjang dan mencoba menikmati malam itu. Ia berbincang dengan beberapa teman lama, mendengarkan cerita mereka tentang pekerjaan, keluarga, dan kehidupan. Namun, pikirannya tetap tertuju pada satu orang---Rian.
"Ica."
Sebuah suara familiar memanggil namanya. Ica berbalik, dan di hadapannya berdiri Rian, masih dengan senyum yang sama seperti lima belas tahun yang lalu. Hanya saja sekarang, ada garis-garis tipis di wajahnya yang menandakan perjalanan waktu.
"Rian," balas Ica dengan suara yang hampir bergetar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaan yang ia pikir sudah lama hilang tiba-tiba kembali menyeruak.
Mereka berdua berdiri canggung sejenak sebelum Rian memecah kebisuan. "Kamu masih cantik seperti dulu," katanya dengan senyum lembut.
Ica tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Kamu juga masih sama seperti yang kuingat, hanya... sedikit lebih dewasa."
Mereka kemudian mulai mengobrol, mengenang masa-masa sekolah. Tawa dan canda menghiasi percakapan mereka, seolah tidak ada waktu yang berlalu di antara mereka. Semakin lama mereka berbicara, semakin Ica merasa nyaman, dan perasaan lama itu kembali menghangatkan hatinya.
Saat malam semakin larut, musik di latar belakang berganti menjadi lebih lambat dan sentimental. Rian tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangan pada Ica. "Maukah kamu menari denganku?"
Ica terkejut, tapi ia mengangguk dan meraih tangan Rian. Mereka berdansa pelan di tengah ruangan, hanya berdua, seakan waktu berhenti. Saat itulah Ica mendengar sebuah lagu yang sangat familiar. Lagu yang pernah dibuat Rian untuknya lima belas tahun yang lalu.
"Kamu ingat lagu ini?" tanya Rian dengan suara pelan di telinganya.
Ica menatap Rian, dan tiba-tiba air mata mengalir di pipinya. "Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Ini lagu yang kamu buat untukku. Tapi aku pikir kamu sudah melupakannya."
Rian tersenyum dan menggeleng. "Aku tidak pernah melupakanmu, Ica. Lagu ini... selalu mengingatkanku padamu, setiap kali aku memainkannya."
Ica merasa hatinya berdesir. "Lalu... kenapa kita tidak pernah mencoba lagi? Kenapa kita berpisah begitu saja?"
Rian menarik napas panjang. "Waktu itu, kita masih terlalu muda. Aku pikir, mungkin ini yang terbaik. Tapi sejujurnya, tidak ada hari yang berlalu tanpa aku memikirkanmu."
Ica merasa hatinya remuk sekaligus penuh harapan. Mereka berdansa dalam keheningan, hanya diiringi alunan musik dan kenangan lama yang kembali menghampiri. Dan saat lagu itu berakhir, Rian berhenti dan menatap dalam mata Ica.
"Tapi, Ica, aku harus jujur. Lagu ini... Aku memainkan lagu ini lagi untuk seseorang yang lain sekarang."
Ica terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Senyumnya memudar, digantikan dengan rasa sakit yang tiba-tiba menyergap.
"Seseorang yang lain?" suaranya nyaris tak terdengar.
Rian mengangguk dengan berat hati. "Ya... Setelah bertahun-tahun berlalu, aku menemukan seseorang yang membuatku merasa hidup kembali, seperti yang dulu kamu lakukan. Lagu ini bukan hanya tentang kenangan masa lalu, tapi juga tentang perasaanku sekarang."
Ica melepaskan genggaman tangan Rian dan mundur perlahan. Segala perasaan yang tadinya kembali menghangat kini berubah menjadi dingin yang menusuk. Rian melanjutkan dengan nada penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Ica. Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Ica menarik napas panjang dan berkata dengan suara lirih, "Aku senang bisa bertemu lagi denganmu malam ini, Rian. Banyak kenangan yang kembali."
Rian mengangguk pelan, menatap Ica dengan mata penuh perasaan. "Aku juga, Ica. Malam ini mengingatkan aku pada banyak hal yang dulu pernah kita alami bersama."
Ada keheningan sejenak di antara mereka. Ica akhirnya berkata, "Tapi, kita nggak bisa kembali ke masa lalu. Semua sudah berubah ya?"
Raka menatapnya dalam-dalam. "Ya, kamu benar. Perasaan itu... masih ada, tapi hidup kita sekarang sudah berbeda."
Ica tersenyum samar, meskipun hatinya terasa berat. "Aku paham, Rian. Kadang, kenangan memang lebih baik tetap menjadi kenangan."
Rian mengangguk, lalu berkata dengan nada penuh penyesalan, "Aku nggak akan pernah lupa apa yang kita punya dulu, Ica. Tapi... mungkin ini saatnya kita benar-benar melangkah ke depan."
Ica mengangguk pelan, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tersenyum getir. "Aku mengerti, Rian. Sekarang kita harus benar-benar menutup bab lama dan membuka bab baru."
Rian mencoba tersenyum, meskipun terlihat jelas rasa bersalah di matanya. "Terima kasih, Ica."
Ica menatapnya untuk terakhir kalinya malam itu, sebelum berkata dengan lembut, "Semoga kamu bahagia, Rian. Sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa, Ica," balas Rian sangat pelan.
Mereka pun berbalik, berjalan menjauh satu sama lain. Berpisah dengan perasaan yang campur aduk. Meskipun kenangan lama telah kembali, kenyataan hidup tetap tak bisa dihindari. Lagu yang dulu menjadi simbol cinta mereka kini telah menjadi lagu bagi seseorang yang lain.
Ica pulang dengan perasaan kosong. Di dalam taksi  dia merenung.
"Mungkin memang harus seperti ini. Perpisahan ini, bagian dari perjalanan hidupku, bukan? Lagipula, tanpa kenangan-kenangan itu, aku mungkin takkan pernah belajar... bahwa cinta sejati tidak selalu harus bersatu. Aku berterima kasih padamu, Rian, atas semua yang telah terjadi. Kita mungkin tidak bersama lagi, tapi kamu telah mengajarkanku sesuatu yang sangat berharga. Terkadang, cinta... bukan tentang mempertahankan, tapi tentang merelakan. Merelakan dan melanjutkan hidup, meski tanpa lagu yang dulu pernah mengiringi langkahku. Aku harus kuat. Aku harus belajar melangkah lagi, dengan atau tanpa dia. Karena hidup ini... tak berhenti hanya karena sebuah lagu berakhir. Masih ada melodi lain yang menungguku di depan sana."
Ica menghela napas panjang, merasa lebih tenang dengan pemikiran itu, lalu memandang keluar jendela taksi, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, menyadari bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Ica berterima kasih atas malam reuni yang penuh makna itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H