"Rian," balas Ica dengan suara yang hampir bergetar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaan yang ia pikir sudah lama hilang tiba-tiba kembali menyeruak.
Mereka berdua berdiri canggung sejenak sebelum Rian memecah kebisuan. "Kamu masih cantik seperti dulu," katanya dengan senyum lembut.
Ica tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Kamu juga masih sama seperti yang kuingat, hanya... sedikit lebih dewasa."
Mereka kemudian mulai mengobrol, mengenang masa-masa sekolah. Tawa dan canda menghiasi percakapan mereka, seolah tidak ada waktu yang berlalu di antara mereka. Semakin lama mereka berbicara, semakin Ica merasa nyaman, dan perasaan lama itu kembali menghangatkan hatinya.
Saat malam semakin larut, musik di latar belakang berganti menjadi lebih lambat dan sentimental. Rian tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangan pada Ica. "Maukah kamu menari denganku?"
Ica terkejut, tapi ia mengangguk dan meraih tangan Rian. Mereka berdansa pelan di tengah ruangan, hanya berdua, seakan waktu berhenti. Saat itulah Ica mendengar sebuah lagu yang sangat familiar. Lagu yang pernah dibuat Rian untuknya lima belas tahun yang lalu.
"Kamu ingat lagu ini?" tanya Rian dengan suara pelan di telinganya.
Ica menatap Rian, dan tiba-tiba air mata mengalir di pipinya. "Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Ini lagu yang kamu buat untukku. Tapi aku pikir kamu sudah melupakannya."
Rian tersenyum dan menggeleng. "Aku tidak pernah melupakanmu, Ica. Lagu ini... selalu mengingatkanku padamu, setiap kali aku memainkannya."
Ica merasa hatinya berdesir. "Lalu... kenapa kita tidak pernah mencoba lagi? Kenapa kita berpisah begitu saja?"
Rian menarik napas panjang. "Waktu itu, kita masih terlalu muda. Aku pikir, mungkin ini yang terbaik. Tapi sejujurnya, tidak ada hari yang berlalu tanpa aku memikirkanmu."