"Kenapa kamu masih duduk di sini, Andi? Paus Fransiskus akan tiba sebentar lagi. Kita harus ke depan," kata Renata sambil menggenggam erat tangannya.
Andi memandangi Renata sejenak, menarik napas panjang, dan akhirnya berkata, "Aku tak tahu, Renata. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam harapan ini. Aku takut semuanya hanya akan menjadi acara seremonial tanpa arti."
Renata menatapnya dengan lembut, "Kunjungan ini bukan hanya soal seremonial. Ini tentang harapan. Harapan untuk perdamaian, untuk penyembuhan luka-luka di negeri kita ini. Jangan biarkan keraguan menghancurkan harapan kita."
Andi menunduk, merasakan beban yang tak bisa ia jelaskan. "Aku ingin percaya, Renata. Tapi ketika aku melihat keadaan sekarang... semuanya terasa seperti mimpi yang terlalu jauh dari kenyataan."
Renata mengusap punggung Andi dengan lembut, "Terkadang, mimpi besar dimulai dari langkah kecil. Kunjungan Paus adalah langkah kecil itu. Bukankah kita seharusnya mencoba?"
**
Satu jam sebelumnya, suasana di bandara sudah semakin ramai. Bendera-bendera kecil berkibar di tangan para umat yang menanti dengan penuh semangat. Andi dan Renata berdiri di tengah kerumunan, tapi ekspresi Andi tampak tegang. Ia diam saja ketika orang-orang di sekitarnya bersorak gembira saat melihat helikopter kepausan mendekat.
Renata melihat Andi yang tampak terdiam dan berkata, "Apa yang kamu pikirkan, Andi? Bukankah ini momen yang kita tunggu-tunggu? Mengapa kamu terlihat begitu khawatir?"
Andi menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya berpikir, apakah kedatangan Paus benar-benar bisa membawa perubahan yang kita harapkan? Atau ini hanya akan menjadi kenangan manis sementara?"
Renata terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kamu benar, Andi. Kita tidak bisa mengandalkan satu kunjungan saja untuk mengubah segalanya. Tapi, kunjungan ini adalah simbol, tanda bahwa dunia peduli pada kita, bahwa harapan masih ada."