Tangisnya menggema di dalam kamar yang gelap. Hujan deras di luar seakan menggambarkan badai yang berkecamuk di hatinya. Sudah berbulan-bulan, Anti berjuang untuk keluar dari lingkaran kekerasan yang terus mencekiknya. Setiap malam penuh ancaman, setiap pagi terbangun dengan ketakutan akan apa yang akan datang selanjutnya.
Namun, kali ini berbeda. Anti duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Di layar, ada pesan dari grup pendukung yang selama ini menjadi tempat curhatnya secara diam-diam. Mereka adalah para wanita yang pernah mengalami hal yang sama. Mereka yang mengerti sakitnya tanpa harus banyak bicara.
"Anti, ini waktunya. Kami siap membantumu kapan saja. Kamu tidak sendiri."
Pesan singkat itu seperti cahaya di ujung terowongan gelap. Anti menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Di dalam hati, ia tahu bahwa inilah saatnya untuk keluar, untuk meraih kebebasan yang selama ini hanya ada dalam mimpinya.
"Tidak akan semudah itu," gumam Anti pada dirinya sendiri. "Tapi aku harus melakukannya."
Malam itu, Anti memutuskan untuk kabur. Komunitas yang selama ini mendukungnya dari balik layar ikut membantu, ia akhirnya meninggalkan rumah yang telah menjadi neraka baginya selama bertahun-tahun. Langkah pertamanya penuh dengan ketakutan, tetapi juga keberanian yang baru saja ia temukan.
**
Dua bulan kemudian, Anti berdiri di balkon apartemen barunya. Udara segar terasa seperti kemewahan yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Ia tersenyum kecil, mengingat malam ketika ia pertama kali tiba di sini---takut, gemetar, dan penuh luka, baik di tubuh maupun di hati. Namun, saat ini, ada harapan yang mulai tumbuh. Sebuah suara dari dalam memanggilnya, "Anti, kamu mau teh hangat?" Itu adalah suara Lani, salah satu anggota komunitas yang telah menyelamatkannya. Mereka tinggal bersama sementara, saling mendukung dalam proses pemulihan. "Ya, aku datang," jawab Anti, meninggalkan balkonnya dan masuk ke dalam.
Di ruang tamu, Lani sudah menyiapkan teh dan kue kecil. Mereka duduk bersama, berbicara tentang rencana masa depan. Anti ingin memulai kursus keterampilan, mungkin desain grafis, sesuatu yang bisa ia lakukan dari rumah.
"Kamu semakin kuat, Anti. Aku ingat pertama kali kamu datang ke sini, kamu seperti bayangan dari dirimu sendiri," kata Lani sambil menyeruput tehnya.
Anti tersenyum lemah. "Aku tidak akan sampai sejauh ini tanpa kalian semua. Terima kasih, Lani. Terima kasih untuk semuanya."
Lani menatap Anti dengan lembut. "Ingat, kemerdekaan itu bukan hanya soal bebas dari kekerasan fisik. Tapi juga bebas dari rasa takut, dari bayangan masa lalu. Kamu pantas mendapatkan itu, Anti."
Anti mengangguk. Kata-kata Lani begitu benar adanya. Selama ini, ia hanya memikirkan bagaimana caranya keluar dari cengkeraman mantan suaminya. Namun, kemerdekaan sejati ternyata lebih dari sekadar fisik. Itu tentang kebebasan dari trauma, dari belenggu emosi yang selama ini menahannya untuk maju.
**
Suatu sore, Anti menerima telepon dari adiknya, Nina. "Kak, aku senang banget dengar kabar kalau Kakak sekarang sudah baik-baik saja. Aku ingin ketemu, boleh?" Anti terdiam sejenak. Sudah lama ia tidak bertemu keluarganya, terutama Nina, adik yang paling dekat dengannya. Rasa rindu mengalir begitu kuat, namun juga disertai sedikit rasa takut. Apakah ia siap bertemu keluarganya lagi setelah semua yang terjadi?
"Baik, Nina. Kita ketemu akhir pekan ini," jawab Anti akhirnya, suara bergetar oleh emosi yang sulit ia tahan.
Akhir pekan tiba, dan Anti menunggu dengan gelisah di sebuah kafe kecil dekat apartemennya. Nina datang dengan senyum lebar dan langsung memeluknya erat.
"Kakak terlihat jauh lebih baik sekarang," kata Nina sambil menatap Anti dengan mata yang berkaca-kaca. Anti hanya tersenyum. "Aku sedang berusaha, Nina. Tapi aku masih merasa berat untuk melupakan semuanya." Nina menggenggam tangan kakaknya. "Kak, tidak ada yang memaksa Kakak untuk melupakan. Tapi aku tahu Kakak kuat. Kita semua tahu. Keluarga selalu ada di belakang Kakak."
Air mata akhirnya jatuh dari mata Anti. Kata-kata Nina menghangatkan hatinya. Meskipun jauh di lubuk hati ia masih merasa terluka, dukungan keluarganya memberikan kekuatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
**
Beberapa minggu kemudian, di sebuah acara komunitas, Anti berdiri di depan mikrofon. Ruangan itu penuh dengan wanita-wanita lain yang pernah melalui hal serupa. Ini adalah pertama kalinya ia berbicara di depan umum tentang apa yang ia alami.
"Dulu, aku pikir kemerdekaan itu hanya soal bebas dari orang yang menyakitiku. Tapi sekarang aku tahu, kemerdekaan itu juga tentang menemukan diriku sendiri, tentang percaya bahwa aku layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan aku tidak bisa melakukannya sendirian. Tanpa bantuan komunitas ini, tanpa dukungan keluarga, aku mungkin tidak akan berdiri di sini hari ini."
Tepuk tangan memenuhi ruangan. Anti tersenyum, merasa lebih ringan daripada yang pernah ia rasakan dalam waktu yang lama. Dia akhirnya mengerti bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal melarikan diri dari masa lalu, tapi juga tentang membangun masa depan yang lebih cerah. Saat itu secara sekilas Anti melihat seseorang yang tidak terduga berdiri di kerumunan---mantan suaminya. Namun, kali ini dia tidak takut. Dia hanya menatapnya sebentar, sebelum melanjutkan pidatonya. Kini, Anti yang memegang kendali atas hidupnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H