Nisa mendesah. "Aku tahu, tapi aku juga ingin suaraku didengar. Kita ini tim, Man. Kita harus saling mendukung, bukan malah merasa harus menang."
Arman menatap Nisa dengan tatapan yang lebih lembut. "Aku juga ingin kita menjadi tim yang solid. Tapi, kadang aku lupa bagaimana caranya."
Hening sejenak menyelimuti ruangan. Nisa meraih tangan Arman dan menggenggamnya erat. "Aku tahu, Man. Kita berdua masih belajar."
Arman mengangguk, merasa tersentuh dengan kata-kata istrinya. "Jadi, bagaimana kalau kita cari jalan tengah? Kita bisa pilih mesin yang harganya pas di tengah-tengah antara front loading dan top loading."
Nisa tersenyum tipis. "Aku rasa itu bisa jadi solusi. Yang penting, kita sepakat."
Mereka akhirnya setuju untuk memilih mesin cuci yang bukan front loading atau top loading, tetapi jenis yang lain---mesin cuci kombinasi yang memiliki fitur unggulan dari kedua jenis tersebut. Ini mungkin bukan solusi ideal bagi masing-masing, tetapi mereka puas karena keputusan ini diambil bersama.
Satu bulan kemudian, Nisa duduk di sofa sambil memperhatikan mesin cuci baru mereka yang berputar di sudut ruangan. Arman duduk di sebelahnya, dengan senyum bangga di wajahnya.
"Kamu tahu, aku merasa kita berhasil melewati ujian pertama kita sebagai pasangan suami istri," kata Arman.
Nisa tertawa kecil. "Ya, sepertinya begitu. Tapi aku harus jujur, aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan jenis mesin cucinya. Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kamu bisa bertahan dengan pendapatmu."
Arman menoleh, terkejut. "Tunggu, apa maksudmu?"
Nisa menatapnya sambil tersenyum nakal. "Aku cuma mau tahu sejauh mana kamu bisa berdebat untuk sesuatu yang, jujur saja, sebenarnya nggak terlalu penting."