Langit Jakarta sore itu dipenuhi semburat jingga yang beradu indah dengan bangunan-bangunan tua di Kota Tua. Suara riuh rendah turis dan warga lokal menyatu dengan derit kayu jendela bangunan bersejarah yang tertiup angin. Andre, seorang fotografer muda, berdiri di tengah-tengah hiruk-pikuk tersebut dengan kameranya yang tergantung di leher. Hari itu dia berniat menangkap momen-momen bersejarah untuk proyek fotonya tentang Jakarta tempo dulu.
"Tempat ini selalu penuh kejutan," gumam Andre sembari menyiapkan kamera. Dia mengarahkan lensa ke arah sebuah bangunan tua yang berdiri megah di hadapannya.Â
Setelah beberapa kali jepretan, matanya tertarik pada sebuah lorong kecil di antara dua bangunan yang terlihat tersembunyi. Tidak ada yang tampak memperhatikan lorong itu, seolah-olah lorong itu tidak pernah ada. Rasa penasaran memanggilnya, dan tanpa berpikir panjang, Andre melangkah masuk ke dalam lorong tersebut.
Langkahnya menggema pelan saat ia menelusuri lorong sempit yang semakin gelap. Tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan matanya. Ketika Andre membuka mata, dia terkejut mendapati dirinya berada di tempat yang sama---Kota Tua Jakarta---tetapi dengan suasana yang sangat berbeda.
Bangunan-bangunan tua yang tadi tampak usang kini berdiri megah dengan cat baru. Jalan-jalan yang tadi dipenuhi turis dan pedagang kaki lima, sekarang dipenuhi pria-pria berjas hitam dan wanita-wanita berkorset serta gaun panjang. Kuda-kuda yang menarik kereta melintas dengan tenang di atas jalan berbatu.
"Apa ini?" Andre bergumam kaget. Ia segera menyadari bahwa kamera di tangannya pun berubah menjadi kamera kuno dengan pelat kaca. Ia mencoba meraih smartphone di saku, namun sia-sia---benda itu telah lenyap.
Seorang pria berseragam kolonial yang berjalan di dekatnya menatap Andre dengan alis mengernyit. "Tuan, Anda terlihat kebingungan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu dalam bahasa Belanda dengan aksen kental.
Andre, yang untungnya pernah belajar sedikit bahasa Belanda, segera menjawab, "Tidak, terima kasih. Saya hanya... tersesat."
Pria itu menatap Andre dengan curiga sebelum berlalu pergi. Andre merasa dadanya sesak. Dia harus menemukan jalan keluar dari tempat ini. Dia bergegas kembali ke lorong tempat ia pertama kali masuk, namun lorong itu tidak ada lagi. Rasa takut mulai menguasai dirinya.
Andre terus mencari jalan keluar, namun lorong yang dia cari seakan-akan bermain petak umpet dengannya. Setiap sudut yang dia jelajahi, setiap gang yang dia masuki, hanya membuatnya semakin jauh dari harapannya untuk kembali ke zaman asalnya. Penduduk lokal mulai memperhatikan keberadaannya.Â