"Kenapa kamu selalu memilih hujan untuk bertemu denganku?" tanya Alya sambil memandang rintik-rintik yang jatuh di Jalan Braga. Udara Bandung yang dingin seolah ikut meresapi hatinya yang tengah resah.
Raka menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari jawaban di balik kabut tipis yang menyelimuti kota.Â
"Karena hanya di bawah hujan, semua luka dan kenangan bisa tersamarkan, Al," jawabnya dengan nada yang berat. "Kamu ingat, kan? Kita pertama kali bertemu di sini, saat hujan deras mengguyur Bandung."
Alya tersenyum pahit, ingatan tentang pertemuan pertama mereka menyeruak di benaknya. Waktu itu, dia sedang berteduh di bawah kanopi toko buku, basah kuyup karena lupa membawa payung. Raka datang menawarkan payungnya, dan dari situlah semua kisah mereka dimulai.
---
Lima tahun yang lalu, di tempat yang sama, hujan turun lebih deras. Alya, seorang mahasiswa seni rupa yang sedang mengejar mimpinya di Bandung, sibuk menggambar sketsa di buku gambarnya.Â
Hujan tak menghalangi semangatnya, malah menjadi inspirasi. Saat itu, dia bertemu dengan Raka, seorang musisi jalanan yang selalu membawa gitarnya ke mana-mana.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Raka, suaranya tenggelam oleh suara hujan yang menghantam tanah. Alya mengangguk, tanpa melepaskan pandangannya dari sketsa.Â
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, hingga akhirnya Raka mengeluarkan gitarnya dan mulai memetik senar, mengiringi hujan dengan melodi yang indah.
Seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering bertemu di tempat yang sama, di bawah hujan yang sama. Alya selalu terpesona dengan musik Raka, sementara Raka selalu terkesan dengan cara Alya memandang dunia melalui gambarnya. Keduanya menemukan kenyamanan dan inspirasi dalam kebersamaan mereka, seperti dua jiwa yang saling melengkapi.