Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pitung dan Aisyeh #3

16 Januari 2011   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Kita culik saja Aisyeh." ujarDemang setengah berbisik.

"Siapa itu Aisyeh? Inlander heh?

"Pacarnya Pitung Scout. Daripada cape kejar-kejar itu Pitung. Mending kita buat dia datang ke kita," mata Demang melirik tuannya.

"Mmm..." Scout van Hinne manggut-manggut sambil matanya menatap foto Ratu Belanda yang menggantung di dingding.

"Pitung pasti datang kesini. Menjemput Aisyeh. Pasti!"

Scout van Hinne tersenyum dan mendekat ke arah Demang lalu menepuk pundak anteknya itu.

"Hahahaha.. Kowe orang kadang pandai pakai itu otak he. Hahaha.."

***

Sehabis shalat zuhur Aisyeh mengambil cincin pemberian Pitung yang kini dia simpan dalam kotak kayu kecil. Benda itu diletakan tersembunyi di bawah tumpukan pakaian di dalam lemari kayu tak berpintu. Sisa air wudhu di wajahnya masih menempel saat tubuhnya dihempaskan di atas kasur. Jempol dan telunjuknya memelin cincin dan membuat benda itu berputar perlahan. Pun pikirannya berputar. Menerka kabar akan kekasihnya yang dikejar-kejar kompeni kemarin. Selamatkah? Tertembak? Atau mungkin tertangkap?

“Ahh..” desisnya sambil membalik badan menghadap dingding rumah yang terbuat dari bilik bambu. Titik-titik sinar matahari jatuh di badannya melewati bilik yang tidak rapat.Batinnya mengutuk penjajahan ini. Mengapa harus ada negara yang mengambil kekayaan dari negara lain? Mengapa sudah ratusan tahun negaranya belum bisa mengusir Belanda?  Mengapa orang pribumi mudah menukar harga diridengan uang dengan menjadi antek-antek penjajah lalu menhisap darah saudara sendiri?

Matanya terpejam mengingat adiknya yang mati kelaparan. Malaria yang menggerogoti tubuh abangnya. Juga sawah luas yang sempat orangtuanya punya sebelum disita oleh kompeni. Ayahnya akhirnya mati karena tidak bisa menerima kenyataan. Untunglah dia kenal Bang Pitung, kekasih segaligus pria yang bisa dia posisikan sebagai ayah tempat mengadu dan memberi saran.

Aisyeh mungkin akan tertidur bila saja pintu tidak diketuk dengan keras. Alam mimpi yg sudah selangkah lagi dia masuki terpaksa ditinggalkan saat sadar yang mengetuk itu adalah kompeni. Dalam sekejap rasa kantuk hilang diganti cemas karena tanpa permisi para kompeni dan opas* masuk rumahnya dengan pandangan melecehkan.

"A.. ada apa ini?" tanya Aisyeh sambil meraba kancing kebayanya khawatir terbuka.

Tidak ada jawaban. Delapan kompeni  dan opas berbaris memanjang lengkap dengan senapan.

"Ya Allah.. apa salah saya?" suara Aisyeh ketakutan. Di dalam dadanya bak bertalu gendang takbiran. Kompeni dan opas masih tidak menjawab. Tidak lama  Scout Van Hinne dan Tuan Demang muncul dari balik  badan kompeni yang membelakangi pintu.

Aisyeh mencari cincin yg tadi dia pegang-pegang. Ternyata tergeletak di samping bantal. Cepat tangangnya meraih mas kawin pemberian calon tunangannya. Scout van Hinne dan Demang menyaksikan perbuatan Aisyeh. Saat badan Aisyeh membelakangi dan membungkuk meraih cincin, pinggulnya yang ramping dipelototi Scout van Hinne. Demang tahu benar pandangan tuannya itu sampai menelan ludah karena selama ini selera wanita Scout van Hinne memang ditangannya.

"Benda apa itu," tanya Scout van Hinne sambil melempar senyum.

"Bukan apa-apa, Tuan." digenggam cincin itu keras sampai bergerak-geraj jemarinya.

"Bukan apa-apa ya? heh dasar inlander. Cantik-cantik tapi berbohong. Inlander sialan." mata scout van hinne mengisyaratkan kepada kompeni berbadan tegap paling ujung untuk mengambil benda yang digenggam Aisyeh.

Yang diperintah semangat benar dan langsung memukul perut Aisyeh  dengan gagang senapan. Tubuh gadis cantik itu seperti melayang, lalu roboh mencium tanah. Cincinnya sampai terlempar. Kompeni berbadan tegap memungut dan memberikannya ke Scout van hinne.

Setelah menerima cincin itu, Scout van Hinne malah menampar pipi kompeni tadi.

"Bodoh!! Bukan begitu cara memperlakukan wanita."

Dia mendorong dada kompeni dan mendekati Aisyeh yang kesakitan. Andai yang dipukul bukan gadis cantik, tidak akan Scout van Hinne berlagak simpati. Pernah kompeni menginjak leher wanita tua sampai mati dibiarkan saja. Apalagi terhadap petani yang tidak membayar pajak, darahnya dianggap halal.

Tubuh Aisyeh dalam keadaang jongkok saat Scout van Hinne memegang kedua tangannya untuk membantu berdiri. Tapi tangan itu dihempaskan Aisyeh dan menantang orang Belanda itu dengan tatapan tajam. Rasa takutnya berubah saat merasakan kesakitan dan sadar cincin itu direnggut dari tangannya.

Scout van Hinne merasa terhina. Tidak pernah wanita prbumi memperlakukannya selancang itu. Tapi kemarahannya masih kalah dengan nafsu binatangnya saat melihat gadis cantik. Sehingga tidak mau melawan amarah gadis itu dengan kekerasan.

"Kamu tau dimana Pitung bersembunyi, heh?"

Aisyeh tidak menjawab. Dia melihat cincin itu dilempar-lempar pelan sengaja untuk meledeknya. Scout van Hinne sadar Aisyeh sangat menginginkan cincin itu.

"Tahu kamu ini cincin siapa?"

Aisyeh tetap tidak menjawab. Perutnya masih terasa nyeri bekas pukulan tadi.

"Ini cincin orang Belanda punya. Dia curi besama teman-teman inlander. Pacarmu itu pengacau. Bikin resah orang Belanda dan tuan tanah, heh."

"Udeh Aisyeh," Demang menambahkan, "ngapain buronan ditunggu. Dia mah tinggal nunggu hari doang, pasti ketangkep dan mati."

"Semua orang juga bakal mati," tiba-tiba Haji Naipin masuk ke dalam rumah. "Termasuk lu Demang dan Scout..."

Kompeni dan opas seperti kedatangan tamu tak diundang. Mereka siaga dengan  memegang erat senapan tinggal tunggu aba-aba dari Scout van Hinne. Demang dan tuannya tampak biasa saja karena mereka anggap orang tua itu mana mampu melawan niatnya untuk menculik Aisyeh.

Aisyeh setengah berlari mendekati Haji Naipin. Dia berlindung dibalik punggung guru silat kekasihnya yang telah renta.

"Hey kakek tua, inlander, jangan sok jagoan, heh!"

Demang hanya tertawa melecehkan.

"Langkahi dulu mayat gua," kaki Haji Naipin membentuk kuda-kuda. Meski gerakannya masih terlihat mantap tapi tidak bisa menutupi tulang-tulang yang renta.

Scout van Hinne merasa muak dengan aksi Haji Naipin. Bagi dia orang tua itu tidak bermakna apa-apa. Dia butuh Pitung otak segala kekacauan dalam daerah kekuasaannya dengan Aisyeh sebagai umpan.  Tanpa mau buang waktu, dia melirik dan mengangguk ke arah anakbuahnya tanda untuk segera menghabisi Haji Naipin.

Empat suara tembakan meletus mengagetkan tetangga-tetangga yang mengintip sejak tadi dari bilik jendela.

***

* opas: penduduk pribumi yang dibayar menjadi seperti kompeni

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun