Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Bulan Tersenyum

3 Agustus 2017   00:01 Diperbarui: 3 Agustus 2017   00:09 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pak, kalau empat mata pelajaran tidak tuntas itu naik kelas atau tidak?" tanya Menu, salah satu siswa kelas X, kawanku sejak aku ditempatkan di sini setahun yang lalu.

Jelas dia tidak naik kelas. Sabtu kemarin, saat penerimaan raport, kepala sekolah sudah sampaikan bahwa siswa naik kelas jika maksimal hanya nilai dari tiga mata pelajaran yang tidak tuntas.

"di raport tidak coret di keterangan lulus atau tidak lulus pak." jawabnya ketika kutanya.

"pak juga tidak tahu itu naik atau tidak. Nanti pak tanya kawan guru yang lain dulu ew." aku bohong padanya. Sorot matanya yang sendu dan memelas tak bisa kulawan. Meskipun dinilai bengal, aku tahu dia sedih sekali. Preman juga manusia.

Aku jadi menyesal tidak ikut saat rapat penentuan kenaikan kelas jumat kemarin.

Awalnya, ketika baru ditempatkan di SMAN 1 Amfoang Timur sebagai guru matematika, aku juga mengajar di kelas mereka menggantikan ibu Agnes yang masih sakit saat itu. Hari pertama mengajar, aku sudah bisa identifikasi bahwa dia dan Lalong, teman sebangkunya, punya rasa minder berlebihan. Indikasi bahwa selama ini, ego mereka sering ditelanjangi. Apakah mereka sering diolok-olok di sekolah sebelumnya? Apakah mereka sering dikatai bodoh? Atau perlakuan lain yang menggerus kepercayaan diri mereka? Aku tidak pernah tanyakan padanya.

Suatu malam, sebulan setelah aku akrab dengan mereka berdua, Menu datang ke rumahku dan kami bercerita banyak hal sebelum kemudian menghabiskan waktu di meja biliard hingga hari hampir pagi.
"Pak, saya dari kecil tidak pernah minum ASI. Saya hanya dikasih susu kaleng makanya otak berat pak" katanya saat itu. Padahal kami tidak diskusi perkembangan pembelajarannya saat itu. Aku jadi tahu ternyata dia merasa diri tidak mampu makanya dia sampaikan hal tersebut. Dia ingin dimengerti bahwa bagaimanapun upaya yang kami lakukan, tetap dia tidak akan mengerti. Menurutku begitu, karena ternyata diam-diam dia juga mengakui hal ini pada pak Jack, guru fisika kami.

Aku tidak tanggapi pernyataannya. Segera kuajak mereka ke meja biliard. Saat itu sekolah ikut terlibat dalam kegiatan Agustusan sehingga besoknya tidak ada kegiatan pembelajaran selain menonton pertandingan Voly pemuda antar desa.

Aku tahu dia hobi bermain biliard. Setiap kali bermain, aku suruh dia yang menghitung poin kami berdua.
"Negativ 15. Saya yang poin sekarang pak"
"Berapa poinnya?" tanyaku.
Dia berpikir agak lama. Kubiarkan dia berpikir. Tadi poinku 9. Ketika akan menyodok bola nomor 6, bola 15 tersentuh tanganku sehingga dia mendapat poin 15. Jadinya dia yang memiliki poin 6 sekarang. Poinku 0.
"Poinku 6 pak" akhirnya dia menjawab.
"Kami biasa main bola kartu saja pak jadi kalau main bola 15 saya susah hitung poinnya pak" jujurnya ketika melihat aku tersenyum.

Aku yang ajak dia main biliard. Minggu kemarin, saat aku ajari materi bilangan berpangkat, dia yang paling kesulitan ketika kukasih soal. Dia tahu bahwa dalam operasi perkalian bilangan berpangkat, bilangan pangkat/eksponennya tinggal dijumlahkan jika absis/variabelnya sama. Hanya dia akan kesulitan ketika menjumlahkan antar bilangan eksponennya jika salah satunya negativ. Misalnya -3 dan 7.

Begitu sekolah mulai normal setelah Agustusan, dia mulai tahu mengoperasikan bilangan berpangkat meski hanya pada operasi perkalian antar bilangan berpangkat. Hingga kami masuk ke bilangan yang pangkatnya pecahan, dia tetap kusuruh mengerjakan yang pangkatnya bukan pecahan. Dengan sentuhan personal, aku dekati dia. Komunikasi personal juga coba kubangun ketika pembelajaran berlangsung. Beberapa kali aku tahu dia kelihatan bangga sekali ketika aku ajak dia untuk tos-tosan saat beberapa nomor soal mampu dikerjakannya. Binar matanya yang senang tak bisa dia tutupi. Mukanya memerah tapi aku tahu dia senang ketika teman sekelasnya menoleh pada kami yang tos-tosan. Meskipun soal yang kukasih padanya terlampau mudah, dibanding yang didapat kawannya, aku tetap mencoba untuk memujinya. Dan, dia cukup senang. Minder berlebihannya mulai hilang. Dia kelihatan nyaman dan percaya diri.

Sejak itu, beberapa kali aku dikasih ikan secara gratis. Meskipun aku menolak dan ngotot untuk membayar, dia juga tetap untuk ngotot menolak. Dan aku pasti mengalah. Suatu kali uang yang ngotot kusisipkan disaku bajunya dia titipkan kembali lewat adikku yang sekelas dengan dia.

                                                                    ***

"Pak, bulan kemarin kawan-kawan ajak saya untuk tato tapi saya tidak mau. Telinga juga saya tidak lubangi karena saya mau ikut tes tentara setelah lulus SMA nanti" butir bening disudut matanya membuatku tersentuh. Aku tahu dia juga tahu bahwa sebenarnya dia tidak naik kelas. Aku yang nasihati dia agar tidak merusak tubuhnya. Usianya pas 20 tahun jika dia lulus SMA tepat waktu. Dia punya peluang untuk ikut tes tentara. Dan, ini yang jadi bahanku untuk memotifasi dia. Dari pengalamanku berjuang bersama masyarakat yang kebanyakan tidak sekolah, aku tahu bahwa mempengaruhi seseorang dengan pendekatan cita-cita atau mimpinya akan lebih efektiv. Dan aku mulai melihat perubahan dalam dirinya. Meskipun dia sering alpa karena lebih banyak di laut untuk menangkap ikan, sikapnya yang arogan dan preman di luar jam sekolah mulai berubah.

Aku jadi sedih sejak tadi ketika tahu dia dan Lalong tidak naik kelas. Aku sedih bukan karena mulai dekat dengan mereka secara emosional. Bagiku, meskipun menurut dia otaknya terlampau lamban untuk mengerti materi pelajaran, dia punya modal untuk bertahan dalam hidup yang keras ini. Dia jago melaut. Jika melaut, paling kurang 50 ribu bisa dia dapat dari hasil jual ikan tangkapannya. Jiwanya ada di laut. Laut sudah menyatu dengan dia. Tinggal, sikap mereka yang kadang-kadang suka buat onar, mabuk, palak orang yang lewat, boros, hura-hura, suka berjudi, dan nakal yang harus dirubah. Lewat pembiasaan nilai/karakter yang bisa ditanamkan disekolah, aku yakin dia bisa berubah. Dan sekolah bisa jadi wadah untuk menggiring perubahan karakternya.

Aku khawatir karena kecewa, mereka memutuskan untuk tidak sekolah seperti kebanyakan pemuda lain kawan mereka di Maumate, dan kemudian berubah drastis menjadi pribadi yang dianggap meresahkan warga. Aku tahu, dia sudah mulai berubah karena punya cita-cita. Meskipun kemudian jika dia tidak lulus jadi tentara saat tespun, yang penting 2 tahun mendatang ini mereka masih terikat untuk tidak terlalu nakal karena kepatuhan pada guru dan ini waktu yang cukup untuk mempengaruhi karakter mereka.

Tidak jadi pak tentarapun, aku yakin dia akan jadi manusia yang berguna minimal untuk keluarganya. Sekolah bukan hanya untuk mencetak nilai akademik yang bagus. Keberhasilan penyelenggaraan pembelajaran bukan diukur dari nilai akademik. Meskipun perolehan nilai matematika atau kimia atau semua pelajaran nol sekalipun, dia tetap akan jadi manusia berguna jika dibentuk secara tepat.

"Dia tidak dikasih tuntas karena kebanyakan alpanya. Dia alpa 76 hari pak." jelas pak Sole, wali kelasnya ketika kami diskusi.

Dia dan Lalong memang kebanyakan alpanya. Apakah mereka malas hadir dan lebih banyak bolos pada jam pelajaran tertentu karena sentuhan personalnya kurang mengena? Karena mereka tidak menemukan kenyamanan dalam pembelajaran tersebut? Karena mereka dipaksa berpikir seragam mengangkangi keunikan dan keberagaman kemampuan? Sebab, di mata pelajaran tertentu aku tahu mereka rajin karena aku tahu jelas gurunya selalu senyum dengan mereka dan tak buat ego mereka terluka. Nilai mereka yang jelek saat ulangan atau PR tidak pernah disinggung dalam kelas oleh guru tersebut. Dan, yang paling penting, materi latihan atau soal yang dikasih kepada mereka tidak harus sama sulit dengan teman lainnya. Mereka hanya butuh senyum dan penghargaan yang tulus. Mereka hanya ingin harga diri dan ego mereka tidak dilukai. Mereka hanya korban kegagalan sistem yang tidak mampu menyediakan sekolah yang sesuai dengan jiwa dan passion mereka. Mereka hanya korban dari salah urus pemangku kepentingan yang ikut berkontribusi mengkonstruk karakter mereka sejak dini.

Meskipun tidak mampu secara akademis, mereka punya keunikan dan kelebihan lain yang akan menjadikan mereka jadi manusia berarti jika disentuh secara tepat. Dan, sentuhan itu hanya ada di sekolah yang pengajarnya mau mengerti bahwa masing-masing manusia itu unik dan tidak harus diukur dengan instrumen yang sama dan seragam.

Ah,aku masih sedih. Dan, aku tahu, Menu juga sedih sekali, meski bulan mulai tersenyum malam ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun