"Pak, kalau empat mata pelajaran tidak tuntas itu naik kelas atau tidak?" tanya Menu, salah satu siswa kelas X, kawanku sejak aku ditempatkan di sini setahun yang lalu.
Jelas dia tidak naik kelas. Sabtu kemarin, saat penerimaan raport, kepala sekolah sudah sampaikan bahwa siswa naik kelas jika maksimal hanya nilai dari tiga mata pelajaran yang tidak tuntas.
"di raport tidak coret di keterangan lulus atau tidak lulus pak." jawabnya ketika kutanya.
"pak juga tidak tahu itu naik atau tidak. Nanti pak tanya kawan guru yang lain dulu ew." aku bohong padanya. Sorot matanya yang sendu dan memelas tak bisa kulawan. Meskipun dinilai bengal, aku tahu dia sedih sekali. Preman juga manusia.
Aku jadi menyesal tidak ikut saat rapat penentuan kenaikan kelas jumat kemarin.
Awalnya, ketika baru ditempatkan di SMAN 1 Amfoang Timur sebagai guru matematika, aku juga mengajar di kelas mereka menggantikan ibu Agnes yang masih sakit saat itu. Hari pertama mengajar, aku sudah bisa identifikasi bahwa dia dan Lalong, teman sebangkunya, punya rasa minder berlebihan. Indikasi bahwa selama ini, ego mereka sering ditelanjangi. Apakah mereka sering diolok-olok di sekolah sebelumnya? Apakah mereka sering dikatai bodoh? Atau perlakuan lain yang menggerus kepercayaan diri mereka? Aku tidak pernah tanyakan padanya.
Suatu malam, sebulan setelah aku akrab dengan mereka berdua, Menu datang ke rumahku dan kami bercerita banyak hal sebelum kemudian menghabiskan waktu di meja biliard hingga hari hampir pagi.
"Pak, saya dari kecil tidak pernah minum ASI. Saya hanya dikasih susu kaleng makanya otak berat pak" katanya saat itu. Padahal kami tidak diskusi perkembangan pembelajarannya saat itu. Aku jadi tahu ternyata dia merasa diri tidak mampu makanya dia sampaikan hal tersebut. Dia ingin dimengerti bahwa bagaimanapun upaya yang kami lakukan, tetap dia tidak akan mengerti. Menurutku begitu, karena ternyata diam-diam dia juga mengakui hal ini pada pak Jack, guru fisika kami.
Aku tidak tanggapi pernyataannya. Segera kuajak mereka ke meja biliard. Saat itu sekolah ikut terlibat dalam kegiatan Agustusan sehingga besoknya tidak ada kegiatan pembelajaran selain menonton pertandingan Voly pemuda antar desa.
Aku tahu dia hobi bermain biliard. Setiap kali bermain, aku suruh dia yang menghitung poin kami berdua.
"Negativ 15. Saya yang poin sekarang pak"
"Berapa poinnya?" tanyaku.
Dia berpikir agak lama. Kubiarkan dia berpikir. Tadi poinku 9. Ketika akan menyodok bola nomor 6, bola 15 tersentuh tanganku sehingga dia mendapat poin 15. Jadinya dia yang memiliki poin 6 sekarang. Poinku 0.
"Poinku 6 pak" akhirnya dia menjawab.
"Kami biasa main bola kartu saja pak jadi kalau main bola 15 saya susah hitung poinnya pak" jujurnya ketika melihat aku tersenyum.
Aku yang ajak dia main biliard. Minggu kemarin, saat aku ajari materi bilangan berpangkat, dia yang paling kesulitan ketika kukasih soal. Dia tahu bahwa dalam operasi perkalian bilangan berpangkat, bilangan pangkat/eksponennya tinggal dijumlahkan jika absis/variabelnya sama. Hanya dia akan kesulitan ketika menjumlahkan antar bilangan eksponennya jika salah satunya negativ. Misalnya -3 dan 7.
Begitu sekolah mulai normal setelah Agustusan, dia mulai tahu mengoperasikan bilangan berpangkat meski hanya pada operasi perkalian antar bilangan berpangkat. Hingga kami masuk ke bilangan yang pangkatnya pecahan, dia tetap kusuruh mengerjakan yang pangkatnya bukan pecahan. Dengan sentuhan personal, aku dekati dia. Komunikasi personal juga coba kubangun ketika pembelajaran berlangsung. Beberapa kali aku tahu dia kelihatan bangga sekali ketika aku ajak dia untuk tos-tosan saat beberapa nomor soal mampu dikerjakannya. Binar matanya yang senang tak bisa dia tutupi. Mukanya memerah tapi aku tahu dia senang ketika teman sekelasnya menoleh pada kami yang tos-tosan. Meskipun soal yang kukasih padanya terlampau mudah, dibanding yang didapat kawannya, aku tetap mencoba untuk memujinya. Dan, dia cukup senang. Minder berlebihannya mulai hilang. Dia kelihatan nyaman dan percaya diri.