Mohon tunggu...
Pretty Woman
Pretty Woman Mohon Tunggu... Konsultan - Wanita

Tertarik dengan fenomena sosial dan film

Selanjutnya

Tutup

Love

Resiko LDM yang Baru Disadari

29 Maret 2024   21:44 Diperbarui: 29 Maret 2024   21:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya jadi enggan bercerita dan memilih untuk memprotes sikapnya terhadap saya. Tapi belum sempat saya banyak protes, suami mematikan telepon nya. Saya sedih dan marah, saya coba hubungi kembali. Diangkat, kemudian dimatikan kembali. Saya telepon kembali, diangkat kemudian dimatikan. Akhirnya dia menonaktifkan HP nya. 

Saya merasa sedih, marah dan kecewa. Saya trauma diperlakukan begitu oleh laki-laki. Dulu mantan saya memperlakukan saya seperti itu. Setiap kami marahan, dia pasti mematikan HP nya. Saya pikir itu hanya berlaku untuk orang pacaran, ternyata pernikahan tak jauh berbeda.

Diri saya dipenuhi amarah. Saya merasa tidak dihargai sebagai seorang istri. Mengapa dia membenci saya sedemikian. Apakah saya terlalu cerewet atau tidak menarik lagi, atau saya terlalu menganggu?. Padahal saya hanya ingin bercerita dengan suami saya. Hal yang sulit dilakukan secara langsung karena kami berjauhan. 

Emosi saya luapkan dengan mencabuti rumput di pekarangan belakang rumah. Sengaja HP saya matikan, saya ingin dihubungi dan "merasa penting" kembali. Ternyata setelah saya telisik. Ini akibat masa kecil saya yang sering tidak dianggap oleh orangtua saya. Saya tidak pernah diperhatikan dan dianggap penting. Sangat jauh berbeda dengan saudara saya yang lain. Biasalah, perlakuan orang tua terhadap anak nomor 2. Ternyata itu membuat saya trauma dan membuat relasi saya berantakan. 

Bodohnya, saat sore hari saya berharap suami akan menghubungi saya, ternyata tidak. Walaupun libur, dia tetap bekerja. Mengejar proyek yang harus selesai sebelum lebaran. Saya makin emosian, emosinya saya lampiaskan kepada anak2 saya. 

Saya teriak sekencang yang saya bisa untuk kesalah kecil yang dibuat anak saya. Saya merasa bersalah dan ingin menghilang rasanya. 

Saat ini saya mempertimbankan untuk bercerai dan meninggalkan anak-anak saya. Saya tidak sanggup menanggung beban mental yang mengerikan ini. Perasaan tidak dicintai dan perasaan bersalah kepada anak-anak. Saya takut merusak mental anak-anak dengan amarah-amarah saya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun