Saya dan suami memutuskan untuk menikah setelah mengenal 3 bulan lamanya. Itu juga jauh - jauhan. Dia di pulau Jawa, saya di pulau Sumatra. Kami memutuskan menikah setelah 3 kali bertemu. Sebenarnya kami belum mengenal satu sama lain dengan baik (hal yang saya sadari belakangan).Â
Saya selalu berdoa untuk diberikan suami yang sauang sama saya, sayang dengan keluarga saya, pekerja keras, dan akan menyayangi anak-anak kami nantinya. Ternyata Tuhan berikan apa yang saya doakan. Terutama dibagian pekerja keras. Suami sangat full pikiran dan waktunya untuk kerjaan. Otomatis kami tidak pernah kekurangan, saya dan kedua anak saya bebas minta ini itu tanpa pernah diprotes suami.Â
Namun belakangan suami harus bekerja keluar kota. Seminggu 5 hari lamanya. Kami hanya bertemu sabtu dan minggu. Itupun waktunya dia habiskan untuk bekerja di rumah.Â
Saya sering mengeluh, kenapa dulu saat pacaran sangat berbeda dengan sesudah menikah. Padahal sama-sama berjauhan. Apakah dia sudah tidak mencintai saya. Suami saya akan menjawab "dulu posisiku hanya karyawan biasa, saat ini aku hampir menduduki posisi direktur, tentu sudah sangat berbeda". Kemudian kujawab "bagaimana nanti jika sudah jadi direktur, mungkin kau tak akan ingat lagi denganku". Dia diam....Â
Beberapa hari ini kami bertengkar. Penyebabnya :
1. Suami hanya akan video call dengan saya dan anak-anak dipagi hari jam 9. Itupun terburu-buru dengan alasan mengejar jam sarapan di hotel. Tidak sampai 5 menit kami berbicara.
2. Setiap video call, yang diajak berbicara hanyalah anak-anak. Terutama anak kami yang berusia 11 bulan. Saya sangat jarang diajak berbicara
3. Setiap video call dengan saya, suami terlihat malas-malasan dan mengantuk Seperti tidak suka melihat saya. Berbeda jika berbicara dengan anak-anak.
4. Saya terkadang sengaja menunggu dia pulang ke hotel jam 12 malam atau jam 11 malam hanya untuk mengingatkan dia minum obat. Tapi menurut suami saya, ini tindakan lebay. Seharusnya saya tidur saja karena besok pagi harus masak untuk anak-anak. Padahal saya sangat sayang dan ingin memastikan dia baik-baik saja.Â
Puncaknya pagi ini. Di hari libur ini. Seharusnya dia tidak bekerja. Sehingga bisa untuk "diganggu" video call sebentar dari saya. Sengaja saya pagi ini sudah dandan cantik agar suami semangat video call dengan saya. Tapi lagi-lagi suami saya terlihat malas-malasan dan terkesan marah dengan saya. Pertama saya video call jam 9 pagi. Suami saya baru bangun, dia terlihat malas-malasan bicara dengan saya. Akhirnya belum 2 menit bicara, dia bilang dia mau sarapan. Saya coba mengerti. Tapi saya rindu, jadi saya video call lagi suami saya jam 11 pagi. Berharap dia sudah selesai sarapan. Ternyata telepkn saya tidak diangkat. Saya positif thingkjng, mungkin dia sedang tidur.Â
akhirnya saya video call kembali jam 12:30 siang. Diangkat, tapi dia merasa saya menganggu waktu tidurnya. Menurutnya karena ini hari libur, ini waktu untuk dia tidur dan istirahat. Sedangkan menurut saya, karena ini hari libur ini waktu dia untuk bersama keluarga, walau hanya melalui video call. Saya protes, kenapa dia begitu enggan video call dengan saya. Apa yang salah dengan saya. Padahal saya hanya ingin bercerita, berbagi pikiran tentang ART kami di rumah. Saya hanya rindu....
Saya jadi enggan bercerita dan memilih untuk memprotes sikapnya terhadap saya. Tapi belum sempat saya banyak protes, suami mematikan telepon nya. Saya sedih dan marah, saya coba hubungi kembali. Diangkat, kemudian dimatikan kembali. Saya telepon kembali, diangkat kemudian dimatikan. Akhirnya dia menonaktifkan HP nya.Â
Saya merasa sedih, marah dan kecewa. Saya trauma diperlakukan begitu oleh laki-laki. Dulu mantan saya memperlakukan saya seperti itu. Setiap kami marahan, dia pasti mematikan HP nya. Saya pikir itu hanya berlaku untuk orang pacaran, ternyata pernikahan tak jauh berbeda.
Diri saya dipenuhi amarah. Saya merasa tidak dihargai sebagai seorang istri. Mengapa dia membenci saya sedemikian. Apakah saya terlalu cerewet atau tidak menarik lagi, atau saya terlalu menganggu?. Padahal saya hanya ingin bercerita dengan suami saya. Hal yang sulit dilakukan secara langsung karena kami berjauhan.Â
Emosi saya luapkan dengan mencabuti rumput di pekarangan belakang rumah. Sengaja HP saya matikan, saya ingin dihubungi dan "merasa penting" kembali. Ternyata setelah saya telisik. Ini akibat masa kecil saya yang sering tidak dianggap oleh orangtua saya. Saya tidak pernah diperhatikan dan dianggap penting. Sangat jauh berbeda dengan saudara saya yang lain. Biasalah, perlakuan orang tua terhadap anak nomor 2. Ternyata itu membuat saya trauma dan membuat relasi saya berantakan.Â
Bodohnya, saat sore hari saya berharap suami akan menghubungi saya, ternyata tidak. Walaupun libur, dia tetap bekerja. Mengejar proyek yang harus selesai sebelum lebaran. Saya makin emosian, emosinya saya lampiaskan kepada anak2 saya.Â
Saya teriak sekencang yang saya bisa untuk kesalah kecil yang dibuat anak saya. Saya merasa bersalah dan ingin menghilang rasanya.Â
Saat ini saya mempertimbankan untuk bercerai dan meninggalkan anak-anak saya. Saya tidak sanggup menanggung beban mental yang mengerikan ini. Perasaan tidak dicintai dan perasaan bersalah kepada anak-anak. Saya takut merusak mental anak-anak dengan amarah-amarah saya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H