Mohon tunggu...
Pretty Woman
Pretty Woman Mohon Tunggu... Konsultan - Wanita

Tertarik dengan fenomena sosial dan film

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aib Anak Gencet

29 April 2021   16:28 Diperbarui: 29 April 2021   16:35 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gencet menurut KBBI diartikan sebagai himpit, tindih dan tekan.

Saya adalah anak kegencet, dalam artian anak yang tertekan dan terhimpit keadaan. 

Saya anak kedua dari 4 orang bersaudara. Kedua orangtua saya merupakan pensiunan PNS.

Anak pertama tidak bekerja dan memilih tinggal bersama orangtua.

Saya bekerja tapi kemudian memutuskan untuk resign dan mengandalkan suami dalam hal finansial.

Anak ketiga buka usaha kecil-kecilan

Anak keempat baru akan masuk kuliah

Selama ini saya turut membantu keuangan keluarga, dari mulai menyucil mobil untuk digunakan oleh abang saya sebagai sopir grab. Membayar tagihan listrik rumah di kampung halaman, termasuk tagihan internet dan kartu hallo. Beberapa kali juga harus membayar tagihan tidak terduga seperti service mobil dan bayar cicilan ruko, juga mengganti Hp anggota keluarga yang rusak. Semua hadiah semasa bekerja juga saya serahkan kepada mama saya: jam tangan dan emas batangan. Alhasil selama saya bekerja 7 tahun saya tidak bisa menabung, yang kemudian dituduh saya boros dan suka berfoya-foya.

Padahal gaji saya tidak banyak, harus bayar kos-kos an juga di perantauan, harus membiayai kuliah saya dari mulai s1 dan s2. 

Awalnya saya merasa senang, tapi karena sering dibilang boros dan berfoya-foya saya jadi jengkel sekali.

Terutama kepada abang saya. 

Dia lahir dengan dianugrahi kecerdasan, tapi pemalas. Semenjak lulus kuliah dia lebih memilih berdiam di rumah dan tidak berusaha mencari pekerjaan. Beberapa BUMN besar seperti pertamina, PLN dan PUSRI sudah berhasil dia taklukkan, hanya selalu gagal pada saat seleksi wawancara akhir. Sedih memang, selalu gagal di bagian wawancara. 

Mama saya sangat sibuk bekerja, sehingga selalu memberikan uang saku kepada abang saya, seolah kami masih sekolah padahal posisinya sudah lulus kuliah. Itu terus terjadi semenjak abang saya tamat kuliah hingga 10 tahun kemudian dia tetap berada di posisi yang sama. 

Saya sedih dan bertanya berkali-kali apa kesalahan orangtua saya sehingga abang saya harus menanggung beban begitu berat?

Saya merasa sayalah anak paling tidak diinginkan sedari kecil, semua barang yang saya terima dari mulai baju dan elektronik merupakan bekas pakai abang atau adik saya. Yup, adik saya justru memperoleh barang-barang baru sebelum saya memperolehnya. Dulu sih saya protes, tapi sekarang saya justru bersyukur. Perlakuan itu sudah menjadikan saya tahan banting dan mati-matian berjuang untuk memperoleh apa yang saya mau. 

Saya sekolah SMP disaat kondisi keuangan keluarga sangat kekurangan, namun karena selalu juara kelas, buku dan pena tidak pernah beli. Saya juga sangat senang mengikuti perlombaan di sekolah karena ada hadiahnya, biasanya uang atau sekedar buku tulis. Pernah suatu waktu saya menangis sejadi-jadinya saat pembagian raport sekolah karena hanya menduduki peringkat ke 6. Peringkat ke 6 artinya tidak memperoleh buku tulis sebagai hadiah, orangtua saya terutama mama juga terlihat sangat kecewa. Padahal saudara saya yang lain jangankan peringkat ke 6, masuk 20 besar saja tidak. 

Saat saya SMA kondisi keuangan keluarga mulai membaik. Saya berhasil masuk SMA paforit yang ternyata dihuni banyak anak orang kaya. Saya ingat suatu ketika harus mengikuti kegiiatan ekstrakulikuler sekolah, saya memakai celana levis mama saya yang ukurannya sangat besar di badan saya. Hanya karena saya tidak pernah beli baju, bahkan tidak punya celana main selain celana pendek rumahan bekas abang saya. 

Sepanjang jalan naik angkot, orang selalu memperhatikan saya dengan tatapan menertawakan. saat itu malu sekali rasanya. 

Semasa SMA saya sangat senang ke pasar untuk membeli komik dan majalah bekas, seingat saya harganya Rp. 1.500-Rp.3.000 dan saya suka memajang gambar dari majalah bekas itu di kamar saya. Gambarnya adalah gambar artis-artis kesukaan saya. Jika diingat lucu sekali rasanya.

Kemudian saya berhasil masuk perguruan tinggi dengan bekal beasiswa pemerintah kemudian harus mengapdi kepada pemerintah selama beberapa tahun lamanya. Saya ingat adik saya nomor tiga semenjak masuk SMA sudah dibelikan kendaraan road dua, sesuatu yang tidak pernah saya miliki. 

Saat saya pulang kampung setelah menyelesaikan pendidikan saya, saya diharuskan bekerja dengan menggunakan kendaraan roda dua. Lagi-lagi saya harus mengalah karena kendaraan hanya untuk adik saya sekolah.

beberapa kali saya protes dan emosi tapi apa daya selalu salah. 

Pernah di suatu ketika saya ke tempat kuliah adik saya yang nomor 3, rencananya hanya sekedar jalan-jalan, namun ternyata adik saya sedikit tidak enak badan saat itu. Pada saat pulang saya habis disindir dan dikata-katai oleh mama saya bahwa saya tdak ada gunanya sebagai kakak, seharusnya saya membantu membersihkan kamar mandi, mencuci baju dan membereskan  kos-kos an adik saya. Padahal saat itu ada abang, adik, mama saya dan sepupu saya juga. Kenapa hanya saya yang dituntut untuk membantu ini itu?. Lagipula adik saya tidak tampak sakit, mungkin mama saya hanya ingin saya membantunya saat itu.

Saat saya mengapdi kepada pemerintah dan memakai baju PNS, mama saya sedikit melunak. Mulai menunjukkan rasa bangganya punya anak seperti saya. Kemudian kontrak kerja berakhir dan saya harus mencari pekerjaan. Bersyukur tidak butuh waktu lama saya mendapatkan pekerjaan di perantauan. Gaji saya saat itu masih di kisaran 2,7 jt. Cukup lah untuk saya. Pekerjaan saya mengharuskan saya pulang larut malam, kerja dari pagi sampai malam dengan jeda waktu hanya untuk makan siang dan makan malam saja. 

Saya rela dan tidak mengeluh berlebihan, yang penting saya tidak di rumah, kerja keras bagaimanapun saya rela. 

Tapi abang saya berbeda, kalau gajinya kecil dia akan menolak tawaran pekerjaan itu hingga akhirnya tidak ada yang menerima lamaran pekerjaannya.

Saya ingat abang saya cerita bertahun-tahun kemudian, bahwa pada saat dia tes kesana kemari, dia difasilitasi oleh mama saya berupa hotel bintang lima dan pesawat kelas bisnis. Saya hanya bisa tertawa sambil geleng kepala. Gila. Tapi cerita ini tidak pernah mama saya katakan, gila banget. Saya ingat sewaktu mencari pekerjaan, saya harus numpang di rumah keluarga dan naik bus 30 jam lamanya.

Kemana gaji saya selama bekerja untuk pemerintah? untuk mama saya dong, belanja bulanan saya yang tanggung, padahal saat itu perbulannya saya bisa mengantongi 3,3 jt. Bingung mengapa perlakuan mama saya berbeda? sama... 

Sepupu saya juga menyadari hal ini dan sesekali menyindir mama saya, tapi seperti biasa mama hanya bilang saya berlebihan. 

Seingat saya abang saya tidak pernah mau makan masakan mama di rumah, dia juga merokok. Setiap harinya menghabiskan uang 100-150 rb untuk beli nasi bungkus dan rokok berbungkus-bungkus. 

Kamar abang saya adalah kamar paling besar di rumah, dilengkapi dengan AC segala. Di kamar dia kerap merokok dengan kondisi AC menyala, berkali-kali saya nasehati jika saya pulang kampung kalau kebiasaannya itu berbahaya. Tapi tidak pernah didengarkan, setiap hari hanya di kamar merokok, keluar hanya makan dan buang air saja. 10 tahun lamanya kebiasaan ini dipertahankan. 

Pada saat saya akan menikah, abang saya dengan sangat kasar dan emosional mengancam tidak akan menghadiri pernikahan saya. Saya menikah hari sabtu, kejadian itu terjadi pada hari jumat malam. Perkaranya sepele, hanya karena abang saya tidak setuju saya memesan nasi kotak untuk tamu di acara pernikahan saya. Dia berpendapat bahwa di saat covid tidak perlu disuguhi makanan. Padahal sudah saya jelaskan, jika takut silahkan buang saja nasi kotakmya. Yang saya undang padahal hanya 15 orang. Saya juga memastikan makanan dalam kondisi aman untuk dikonsumsi. Saat itu posisi abang dan orangtua saya sudah di Jakarta untuk menghadiri pernikahan saya. abang saya tidak berfikir berapa banyak dana sudah dikeluarkan untuk tiket dan transportasi mendatangkan dia ke Jakarta. 

Saya sangat sedih dan terisak di malam itu padahal besoknya saya harus menikah. "kalau kau tidak minta maaf, aku tidak mau hadir besok". itulah perkataan abang saya malam itu. Hasilnya??? mama saya menelepon sambil menangis dan mengatakan agar saya segera meminta maaf, jangan membuat mama tidak panjang umur. Saya rasanya dibanting berkali-kali ke dasar tanah, akhirnya saya mengikuti kemauan mama saya. Saya minta maaf dengan abang saya dan dia tertawa. 

Jika ditanya bagaimana hubungan saya dengan abang saya saat ini, tidak baik. Semenjak saya tidak bekerja, saya tidak lagi bisa memberikan uang kepada abang saya. entah itu untuk melunasi hutangnya, atau mengisi pulsanya, atau mengisi paket internetnya. Sekalipun abang saya tidak pernah menghubungi saya lagi dan terkesan memusuhi saya. Mama tentu saja membela abang saya, walau berkali-kali saya katakan bahwa abang saya harus merantau untuk merasakan kerasnya hidup dan tidak terus bergantung dengan orangtua. Saya katakan kepada mama bahwa tindakan memanjakannya saat kami kecil berbuah tidak baik saat ini. Abang saya tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah apapun di rumah, bahkan untuk mencuci piringnya saja tidak pernah. Perlakuan mama kepada anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda menjadi bumerang untuk mama saat ini. Semoga aku tidak mengikuti apa yang mama lakukan. 

Saya sayang mama saya, walau perlakuannya tidak adil dan tidak pernah menyayangi saya dengan tulus, saya sayang mama saya. 

Saya tidak bisa menolak permintaan mama, hingga saat ini saya menikah, apapun permintaan mama sebisa mungkin akan saya turuti. Walau terkadang saya dan suami harus bertengkar. 

Saya bersyukur suami saya bersedia membantu keuangan keluarga saya saat ini, walau rasanya tidak enak sekali karena mama tidak pernah mengucapkan terimakasih setelah dikirimkan sesuatu. seolah itu biasa saja, padahal kali ini bukan anaknya yang mengirimkan tapi menantunya. 

Saya hanya berkata kepada suami, "sebisa mungkin kita buat orangtua kita senang, berapa lama lagi sih orangtua sama-sama dengan kita? jangan sampai kita menyesal kelak, jadilah anak berbakti". Suami saya hanya bisas memeluk saya yang suka menangis di malam hari mengingat perlakuan keluarga saya kepada saya. Saya sangat bersyukur saya memiliki suami seperti dia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun