Mohon tunggu...
Pretty Woman
Pretty Woman Mohon Tunggu... Konsultan - Wanita

Tertarik dengan fenomena sosial dan film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik Kok Dilarang?

29 April 2021   14:52 Diperbarui: 29 April 2021   14:59 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik atau pulang kampung merupakan tradisi yang berhasil memindahkan manusia dalam jangka waktu singkat dengan jumlah yang besar. 

Mudik merupakan tradisi yang sudah dijalankan puluhan tahun lamanya, padahal biaya untuk mudik tidaklah sedikit. 

Saya sendiri menghabiskan 2 bulan gaji dan THR hanya untuk mudik. Bukan berat di ongkos, tapi berat di oleh-oleh dan menyenangkan hati keluarga di kampung halaman. Bagaimana menyenangkan hati? membawa keluarga jalan-jalan, mengganti HP anggota keluarga yang rusak dan sekedar dimanfaatkan untuk merenovasi rumah atau kendaraan. OH ini nanti kita bahas di bagian tulisan generasi kegencet.

Lalu dimana letak kenikmatan mudik jika mudik begitu merepotkan? 

Bagi saya yang merantau dan dahulu masih single, tidak mudik berarti kesepian bertambah. Namun beberapa teman memanfaatkan mudik sebagai sarana untuk mendapatkan materi dari orangtua, sebagai ajang aktualisasi diri, sekedar memuaskan bagian tubuh yang disebut lidah dan lambung dan memang sangat merindukan keluarga.

Namun sejak tahun 2020 mudik sudah menjadi kegiatan terlarang, bahkan masih berlangssung pada tahun 2021. 

Apakah saya menjadi marah? tidak

Apakah saya kecewa berat? iya

Apa yang menjadikan saya tidak marah namun kecewa?

Saya berasal dari salah satu provinsi di Indonesia yang fasilitas kesehatannya tidak terlalu memadai apabila terjadi lonjakan angka Covid 19 yang tinggi. 

Covid di Indonesia saat ini tidak meunjukkan lonjakan yang terlalu tinggi seperti di India karena memang aktivitas manusia di Indonesia sebagian besar hanya di "situ-situ saja". Saya sendiri yang tadinya sebulan bekerja harus ke luar kota 3 kali saat ini menjadi tidak keluar kota sama sekali. Tadinya setiap sabtu nongkrong di mall bersama teman-teman atau sekedar menonton film ke bioskop. Tadinya ada acara kondangan, menjenguk teman yang sakit atau menjenguk teman lahiran, sekarang tidak pernah lagi.

Jadi bisa dikatakan bahwa pergerakan manusia di Indonesia sudah lebih terbatas dari yang sebelumnya. Itulah sebabnya angka covid di beberapa kabupaten masih dapat bertahan di angka seminim mungkin yang menyebabkan beberapa orang menjadi tidak percaya akan adanya covid. Mereka tidak percaya karena belum mengalami atau menyaksikannya sendiri. 

Mudik akan menyebabkan pergerakan manusia tidak lagi "disitu-situ saja". Ada yang mudik dari Jakarta ke Jambi, mudik dari Kalimantan Barat ke Jambi, mudik dari Papua bahkan ke Jambi. Virus yang seharusnya berada di Jakarta harus berpindah dengan adanya perpindahan manusia dalam rangka mudik. Ataupun sebaliknya, virus dari Jambi dapat berpindah ke Jakarta, dsb.

Efeknya tidak langsung dirasakan. Butuh waktu untuk si virus unjuk gigi. 

Saya sendiri merupakan korban mudik atasan saya tahun lalu. 

Atasan saya di kantor dengan tidak mengindahkan aturan pemerintah dan aturan perusahaan, mudik pada saat lebaran. Padahal jarak mudiknya hanya 2 jam tapi efeknya luas biasa membangongkan. Atasan saya tertular covid dari sepupunya di kampung yang ternyata merupakan petugas pemandian jenazah covid, kemudian atasan saya menularkan virus covid kepada saya yang saat itu sedang sangat sibuk mengurus tesis dan pernikahan. Atasan saya menularkannya juga kepada seluruh anggota keluarga intinya, yaitu istri dan 2 anaknya.

Sepele bukan? perkara mudik jarak tempuh 2 jam. 

Kasus yang seperti ini banyak, tapi orang tidak akan buka suara karena sifatnya yang menyedihkan dan dianggap memalukan. 

Atasan saya dan termasuk saya  bisa dikatakan cukup beruntung karena tidak mengalami sakit yang parah akibat covid. 

Tapi banyak kasus lain berakhir tragis karena menghabisi 3 generasi sekaligus: kakek, ayah, anak.

Kemudian teman saya berkata :"meninggal itu sudah ada jalannya, mau mudik atau tidak orang tetap meninggal kok"

Bener, bener banget. Tapi kita sedang main domino say, efeknya bukan hanya menyoal nyawa yang padahal cuma satu-satunya lho.

Jika terjadi ledakan kasus covid, saya tidak bisa membayangkan dampak ekonominya. Ada berapa banyak perusahaan yang akan gulung tikar dan harus berapa banyak bapak atau ibu kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Anak-anak akan putus sekolah, istri akan memiliki alasan untuk menceraikan suaminya, suami akan punya alasan untuk menceraikan istrinya. mertua-mertua akan semakin mengompori anaknya untuk menyelamatkan diri sendiri disaat kondisi ekonomi sulit. 

langsung meninggalkan dunia ini memang sudah menjadi bagian hidup kita, tapi hidup dalam kondisi ekonomi sulit sepertinya lebih menyakitkan. 

Jika sesuatu tidak terjadi padamu, bukan berarti itu tidak ada. 

Jangan mudik ya...

Bersabarlah lagi, sedikit lagi dan lagi dan lagi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun