Mohon tunggu...
Baba Makmun
Baba Makmun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pidato Anies Baswedan dan Skenario Calon Presiden

20 Oktober 2017   08:05 Diperbarui: 20 Oktober 2017   09:02 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baba Makmun

Pidato perdana Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengundang kontroversi, terutama pada kata pribumi. Banyak yang mengkritik, namun juga tidak sedikit yang membela. Ada pihak yang sudah membawa kasus ini ke meja polisi. Tapi, Anies sendiri tak begitu peduli.

Pidato yang dia kumandangkan dalam acara Pesta Rakyat Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Senin malam (16/10/17), sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi kata pribumi. Tidak pula ditujukan kepada satu pihak tertentu. Kata itu berkonteks sejarah penjajahan kolonial terhadap warga Jakarta.

Di luar kontroversi diksi pribumi itu, cakrawala pidato sang gubernur memang sungguh luas. Pidato tersebut berspektrum "pilpres" (pemilihan presiden). Setidaknya, analis politik Muhammad Qodari telah mencium aroma pilpres itu.

"Ini pidato gubernur rasa pilpres," kata Qodari dalam wawancara dengan KompasTV, Selasa (18/10/17). Bagi Qodari, meski masih terlalu dini, target Anies untuk menuju pilpres dua tahun mendatang tidaklah salah. Ada preseden untuk itu pada diri Presiden Jokowi.

"Calon kuat presiden mendatang ada pada tiga orang, yakni Jokowi sebagai incumbent (petahana), Prabowo sebagai ketua partai (Gerindra), dan Gubernur Jakarta, siapa pun dia," kata Qodari. Dia menafikan nama-nama besar yang sekarang mulai mencuat, antara lain Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Dalam pandangan Qodari, idealnya calon presiden disaring dari gubernur terbaik. Pengalaman gubernur memimpin wilayah menjadi modal kuat untuk mengemudikan bahtera tingkat nasional. Begitu pun calon gubernur, harus dijaring dari bupati dan wali kota terbaik.

Analisis Qodari ini menarik. Benarkah Anies memupuk ambisi menuju pilpres? Merunut ke masa kampanye, Anies dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno berkomitmen menuntaskan tugas lima tahun. Apakah komitmen itu kini meluntur?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dilihat dulu apa saja yang kini dihadapi Anies. Ternyata, setidaknya ada empat realitas yang dihadapinya.

Pertama, secara politis Anies disokong minoritas, hanya Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dia harus menghadapi "keroyokan" tujuh partai, yakni PDIP, Golkar, Demokrat, PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura.

Mangkirnya mantan gubernur Djarot Saiful Hidayat dan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi, keduanya kader PDIP, dari acara serah terima jabatan (sertijab) bukan lagi hanya sinyal, tapi sudah tabuhan "genderang perang" politik.

Rumornya, PDIP masih sakit hati atas kekalahannya. Kasusnya mirip dengan ketika Ketua Umum PDIP Megawati dipecundangi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pilpres 2004. Sampai saat ini hubungan Mega-SBY masih "nyeri".

Diduga kuat, ketidakhadiran Djarot dan Prasetio dalam Sertijab merupakan skenario petinggi PDIP. Musababnya, kontes Pilkada Jakarta merupakan babak lanjut dari "perseteruan" Pilpres 2014 antara PDIP dan Gerindra. Dalam Pilpres calon PDIP menang, sebaliknya dalam Pilkada calon PDIP tumbang, Gerindra menang.

Bukan mustahil, langkah Anies sebagai nakhoda Jakarta bakal diadang banyak gelombang. PDIP dan enam partai oposisi ramai-ramai akan terus menjegalnya. Imbasnya, tensi bising politik ibu kota meninggi. Ini pedang bermata dua bagi Anies, bisa menaikkan popularitas secara nasional, atau justru sebaliknya. Sebab, "jarum jatuh" pun di ibu kota disorot rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Agaknya Anies akan menghindari medan tempur politis itu. Dia lebih mengupayakan kompensasi dari "inferior politis" ke superior sektor lain. Yang dapat digeber adalah menggenjot program "populis" semisal Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus, stabilisasi harga bahan pokok, dan OK-OCE (satu kecamatan, satu pusat pembinaan kewirausahaan).

Program ini diidamkan rakyat. Kalau nanti sukses---dan secara teoretis kecil kemungkinannya gagal---Anies bakal tidak terbendung. Namanya melejit tinggi. Elektabilitasnya pasti meroket bak meteor. "Wow effect" Jokowi saat memimpin Jakarta akan terulang pada Anies.

Realitas kedua, Anies kini "dipojokkan" pemerintah pusat. Aksi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mencabut moratorium reklamasi pantai utara Jakarta hanya 11 hari menjelang Anies dikukuhkan sebagai DKI-1merupakan sinyal sangat kuat ke arah itu. Setelah pencabutan moratorium, Luhut masih menantang, "Kalau Anies-Sandi mau menghentikan reklamasi, silakan".

Langkah Luhut ini jauh dari prinsip "kerja sama harmonis pemerintah pusat dan daerah" yang kerap digaungkan Jokowi. Juga tidak mencerminkan prinsip "gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah provinsi". Sungguh elok seandainya Menko Kemaritiman menunggu dulu Anies dilantik sebagai gubernur, kemudian duduk bersama satu meja mencari solusi.

Pemerintah pusat mestinya mengutamakan jalan perundingan, bukan ngotot menang sendiri. Meski dalam kampanye Anies menolak reklamasi, tetap terbuka celah untuk perundingan mencari jalan tengah. Andai kata perundingan menemui jalan buntu, pemerintah pusat akan menuai simpati dari rakyat, sedangkan gubernur akan dinilai arogan.

Di sini Luhut telah memosisikan pemerintah pusat dalam rivalitas dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apakah Jokowi merestui? Jawabannya akan diketahui nanti saat Anies-Sandi bertemu Jokowi. Pertemuan itu sudah diagendakan.

Sebelumnya, hubungan mesra Anies-Jokowi ternoda ketika dia dipecat dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, Anies merupakan juru bicara tim kampanye Pilpres Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014. Anies bilang dia tidak tahu alasan Jokowi mencopotnya.

Kabarnya, Anies dinilai gagal merealisasikan program Nawacita Jokowi bidang pendidikan. Berkembang pula rumor terjadinya salah hitung anggaran tunjangan profesi guru Rp23,3 triliun. Ini kemudian dibantah Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Suryapranata. Juga dirumorkan telah terjadi pemborosan anggaran dalam acara Pameran Buku di Frankfurt, Jerman. Meski kedua isu ini di kemudian hari ternyata tidak benar, nama Anies telanjur "kurang sedap" saat itu.

Tak berapa lama berselang, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso (Buwas) "curhat" (mencurahkan isi hati) bahwa dia sudah membuat buku pencegahan narkoba dan minta dimasukkan sebagai kurikulum SD, SMP, dan SMA.

"Tapi, tahun 2016 ternyata tidak masuk kurikulum," katanya. "Sudah saya usulkan, dia (mantan Mendikbud Anies Baswedan) bilang iya, iya, tapi tidak juga direalisasikan," kata Buwas dikutip detiknews.com, Rabu (26/10/2016).

Mengingat celoteh ini "kebetulan" terjadi pada masa kampanye pilkada, kuat dugaan, Buwas bermaksud membunuh karakter (character assassination) agar Anies dipecundangi Basuki Tjahaja Purnama (petahana).

Karena kerap dipojokkan, lumrah bila sekarang Anies pasang kuda-kuda melawan. Bentuk perlawanannya apa? Mungkin akan dia tunjukkan lewat Pilpres 2019. Nah, tentu akan sangat impresif jika nanti terjadi "duel gladiator" Anies lawan Jokowi.

Realitas ketiga, Gerindra telah memastikan calon presidennya adalah Prabowo Subianto. Wakilnya belum ditentukan. Apabila elektabilitas Anies terus membubung, Prabowo pastilah tidak akan membuang peluang menggandengnya. Bahkan, tak mustahil pula, kalau nanti elektabilitas Anies jauh melampaui dirinya, Prabowo "rela" jadi calon RI-2, Anies capres.

Realitas keempat, walau Anies bukan kader, Gerindra kini mendukungnya 100 persen. Sebab, ada kalkulasi menguntungkan bagi partai ini. Kalau Anies menjadi capres atau cawapres, otomatis Sandi yang kader Gerindra sejati naik sebagai nakhoda DKI. Seandainya Anies-Prabowo menang dan naik tahta, Gerindra memegang supremasi politik negeri ini dengan mengendalikan Istana dan ibu kota negara.

Nah, dari keempat realitas ini memang terbuka peluang bagi Anies untuk menapak ke Pilpres 2019. Jika ditambah godaan dan rayuan parpol-parpol ambisius, kemungkinan Anies akan membuang komitmennya memimpin Jakarta lima tahun. Sebab, kursi presiden terasa paling empuk dibanding kursi-kursi mana pun.

Tapi, jika nanti Jokowi yang memenangi pertarungan pilpres, yah harus terima risiko getir, Prabowo-Anies bakal "kehilangan muka" di mata rakyat. Khusus Prabowo, karir politiknya langsung game over. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun