Rumornya, PDIP masih sakit hati atas kekalahannya. Kasusnya mirip dengan ketika Ketua Umum PDIP Megawati dipecundangi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pilpres 2004. Sampai saat ini hubungan Mega-SBY masih "nyeri".
Diduga kuat, ketidakhadiran Djarot dan Prasetio dalam Sertijab merupakan skenario petinggi PDIP. Musababnya, kontes Pilkada Jakarta merupakan babak lanjut dari "perseteruan" Pilpres 2014 antara PDIP dan Gerindra. Dalam Pilpres calon PDIP menang, sebaliknya dalam Pilkada calon PDIP tumbang, Gerindra menang.
Bukan mustahil, langkah Anies sebagai nakhoda Jakarta bakal diadang banyak gelombang. PDIP dan enam partai oposisi ramai-ramai akan terus menjegalnya. Imbasnya, tensi bising politik ibu kota meninggi. Ini pedang bermata dua bagi Anies, bisa menaikkan popularitas secara nasional, atau justru sebaliknya. Sebab, "jarum jatuh" pun di ibu kota disorot rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Agaknya Anies akan menghindari medan tempur politis itu. Dia lebih mengupayakan kompensasi dari "inferior politis" ke superior sektor lain. Yang dapat digeber adalah menggenjot program "populis" semisal Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus, stabilisasi harga bahan pokok, dan OK-OCE (satu kecamatan, satu pusat pembinaan kewirausahaan).
Program ini diidamkan rakyat. Kalau nanti sukses---dan secara teoretis kecil kemungkinannya gagal---Anies bakal tidak terbendung. Namanya melejit tinggi. Elektabilitasnya pasti meroket bak meteor. "Wow effect" Jokowi saat memimpin Jakarta akan terulang pada Anies.
Realitas kedua, Anies kini "dipojokkan" pemerintah pusat. Aksi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mencabut moratorium reklamasi pantai utara Jakarta hanya 11 hari menjelang Anies dikukuhkan sebagai DKI-1merupakan sinyal sangat kuat ke arah itu. Setelah pencabutan moratorium, Luhut masih menantang, "Kalau Anies-Sandi mau menghentikan reklamasi, silakan".
Langkah Luhut ini jauh dari prinsip "kerja sama harmonis pemerintah pusat dan daerah" yang kerap digaungkan Jokowi. Juga tidak mencerminkan prinsip "gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah provinsi". Sungguh elok seandainya Menko Kemaritiman menunggu dulu Anies dilantik sebagai gubernur, kemudian duduk bersama satu meja mencari solusi.
Pemerintah pusat mestinya mengutamakan jalan perundingan, bukan ngotot menang sendiri. Meski dalam kampanye Anies menolak reklamasi, tetap terbuka celah untuk perundingan mencari jalan tengah. Andai kata perundingan menemui jalan buntu, pemerintah pusat akan menuai simpati dari rakyat, sedangkan gubernur akan dinilai arogan.
Di sini Luhut telah memosisikan pemerintah pusat dalam rivalitas dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apakah Jokowi merestui? Jawabannya akan diketahui nanti saat Anies-Sandi bertemu Jokowi. Pertemuan itu sudah diagendakan.
Sebelumnya, hubungan mesra Anies-Jokowi ternoda ketika dia dipecat dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, Anies merupakan juru bicara tim kampanye Pilpres Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014. Anies bilang dia tidak tahu alasan Jokowi mencopotnya.
Kabarnya, Anies dinilai gagal merealisasikan program Nawacita Jokowi bidang pendidikan. Berkembang pula rumor terjadinya salah hitung anggaran tunjangan profesi guru Rp23,3 triliun. Ini kemudian dibantah Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Suryapranata. Juga dirumorkan telah terjadi pemborosan anggaran dalam acara Pameran Buku di Frankfurt, Jerman. Meski kedua isu ini di kemudian hari ternyata tidak benar, nama Anies telanjur "kurang sedap" saat itu.