Mohon tunggu...
Baba Makmun
Baba Makmun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalah di DKI, Ahok Segera Jadi Menteri?

26 April 2017   09:29 Diperbarui: 26 April 2017   18:00 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi agaknya lagi kecewa dan bingung. Kecewa, karena ada menteri yang kerjanya di bawah standar. Capaian target kerja mereka rendah. Dia juga bingung, sebab tak ada menteri yang keberatan ketika dibebani target tinggi. Jadi, dia anggap realistis. Nyatanya, apa yang dicapai menteri itu jauh dari harapan.

Jadilah Presiden curhat (mencurahkan isi hati) di acara Kongres Ekonomi Umat (KEU) 2017 yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saat menyinggung program redistribusi aset dan reformasi agraria, dia mengatakan, terdapat 126 juta bidang tanah di Indonesia. Dari jumlah itu, yang telah tersertifikasi 46 juta bidang tanah. Artinya, 60% bidang tanah belum disertifikatkan, yang kebanyakan terdapat di desa atau milik masyarakat miskin.

"Saya kerja memang selalu pakai target. Pak menteri tidak pernah tanya ke saya, pak ini targetnya terlalu besar. Itu urusan menteri. Target itu harus selesai. Kalau tidak selesai, bisa diganti, bisa digeser, bisa dicopot, dan lainnya," kata Jokowi dalam sambutan pada acara KEU di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Sabtu (22/04/17).

Seminggu sebelumnya, Presiden menyatakan di Cirebon, Jawa Barat, pada masa lalu penerbitan sertifikat hanya rata-rata 400.000 per tahun di seluruh Indonesia. Sekarang (2017), kata dia, ditargetkan 5 juta sertifikat. Tahun 2018 naik menjadi 7 juta dan tahun 2019 menjadi 9 juta.

"Ini janjian saya dengan Pak Menteri BPN/Pak Menteri Agraria. Janjiannya angkanya itu. Kalau tidak tercapai tahu sendiri. Risikonya bekerja dengan saya pakai target dan targetnya pasti tidak kecil," katanya. Tapi, Jokowi tidak menyebut apakah target 5 juta itu dapat dicapai sang menteri tahun ini.

Pernyataan Presiden di KEU-MUI tadi mengundang spekulasi di kalangan politisi. Ada yang bilang, ini isyarat bakal segera ada kocok ulang (reshuffle) kabinet. Menteri yang tak mencapai target dicopot. Kalau begitu, apakah Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan A. Djalil akan dilengserkan? Apakah cuma Sofyan? Adakah menteri lain yang juga kedodoran dalam capaian targetnya?

Khusus capaian Kementerian ATR, sertifikasi tahun lalu direalisasi 1,064 juta bidang tanah. Tahun ini, dengan target 5 juta, belum dapat dinilai capaiannya, karena masih tersisa waktu delapan bulan. Jadi, kalau reshuffle dilaksanakan bulan ini atau bulan depan, Sofyan kena getahnya atau tidak?


Spekulasi pada Ahok

Tentu bukan kebetulan dan ujug-ujug Jokowi “mengancam” akan mencopot menteri yang tak mencapai target kerja hanya tiga hari setelah Ahok ditumbangkan Anies dalam perebutan kursi pemimpin Jakarta versi hitung cepat.

Pernyataan Jokowi itu dapat ditafsir mengandung minimal tiga pesan. Pertama, pesan akan ada reshuffle. Kedua, pesan ditujukan kepada Anies Baswedan. Ketiga, tertuju pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Pesan pertama, akan ada kocok ulang kabinet. Dengan masa kerja tersisa dua tahun, tampaknya Jokowi masih kurang puas atas kinerja kabinetnya. Dia melihat, ada kementerian yang jalannya lambat. Solusi untuk ini bisa dengan menggenjot kinerja, bisa juga dengan mengganti pucuk pimpinannya. Tampaknya Presiden memilih akan mengganti pucuknya.

Pesan kedua kepada Anies, Jokowi secara implisit (tersirat) ingin memberi penjelasan kepadanya, sekaligus kepada publik, alasan dia dicopot dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun lalu. Tentu tak jauh-jauh dari urusan target. Target apa yang tak dapat dicapai Anies, Jokowi lebih tahu.

Di samping target, masih ada soal lain. Anies diduga lamban, tidak mampu mengikuti irama kerja Jokowi yang cepat. Setidaknya, ini dapat disimak dari pernyataan Djarot Saiful Hidayat, Cawagub DKI Jakarta, dalam debat pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta di Hotel Bidakara, Jumat malam (10/2/17).

“Maaf Pak Anies. Pak Anies pernah jadi menteri, diberhentikan karena tidak cepat untuk mengeksekusi program yang sudah digariskan oleh kabinet,” kata Djarot saat diberikan kesempatan untuk menyampaikan sisi positif dan keunggulan pasangan calon nomor 1 (Agus/Sylvi) dan nomor urut 3 (Anies/Sandi).

Pernyataan Djarot ini dapat dijadikan rujukan mengingat dia merupakan politisi senior PDIP, satu partai dengan Jokowi. Lagi pula, sering disebut, Djarot merupakan salah satu kader kesayangan ketua umum Si Moncong Putih. Jadi, dia banyak tahu “isi perut” Kabinet Kerja.

Pesan ketiga, tertuju pada Ahok. Seolah-olah Jokowi mau bilang, kalau meminjam bahasa gaulnya, “Hok, siap-siap, elo bakal gue tarik ke Istana. Gue lagi tancap gas. Gue butuh elo”.

Lalu, apa alasan Jokowi merekrut Ahok? Alasan utama tentu hanya Presiden yang tahu. Tapi, secara garis besar, publik dapat menerka. Ahok bekerja profesional, gesit, dan cepat. Hal ini dia tunjukkan dalam memimpin Jakarta. Ahok pun berani mengambil risiko. Sekadar contoh, dia tak gentar membuldozer Kalijodo di perbatasan Jakarta Barat dan Utara, yang dikenal “angker”, mengingat lokasi ini sarang perjudian, prostitusi, minuman keras, dan narkoba.

Ahok juga tak mundur menghadapi pihak-pihak “garis keras” di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Begitu pula saat menggusur Kampung Pulo, Jakarta Timur, Ahok berani mengambil risiko tidak populer berhadapan dengan warga yang menolak penggusuran.

Pemimpin model begini dibutuhkan Jokowi untuk memenuhi target kabinetnya. Ambil contoh, Johan Budi ditarik ke Istana menjadi Juru Bicara Kepresidenan, salah satunya karena dia profesional dan termasuk pemberani. Begitu Johan tersisih di tangan DPR dari kompetisi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gak pake lama Jokowi langsung merekrutnya. Johan juga memiliki reputasi bersih dan berintegritas tinggi.

Nah, saat ini, Jokowi butuh orang sekaliber Ahok untuk memperkuat kabinet. Lantas, kursi menteri apa? Dari kacamata rakyat, karena Jokowi sedang menggenjot sektor ekonomi, maka kemungkinan besar Ahok ditempatkan di sektor ini. Atau, ada kemungkinan juga di sektor maritim, mengingat sektor ini unggulan sang Presiden.

Di bidang ekonomi terdapat 10 kementerian di bawah Menko Perekonomian, yakni Keuangan, BUMN, Koperasi dan UKM, Perindustrian, Perdagangan, Pertanian, Ketenagakerjaan, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta ATR.

Di bidang maritim ada empat kementerian di bawah Menko Kemaritiman, yakni Perhubungan, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata, serta Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Jadi, kementerian mana yang cocok buat Ahok? Pastinya, Jokowi bakal menempatkan dia di kementerian yang capaian targetnya masih kedodoran, “angker”, penuh risiko, banyak berurusan dengan preman berdasi, serta jajaran birokrasinya masih “tertatih-tatih”.  

Maaf saudara-saudara, ini semua hanya prediksi saya pribadi.

Wallahu alam bis shawab. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun