Mohon tunggu...
Baba Makmun
Baba Makmun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menerka Juara Pilkada Jakarta

12 April 2017   14:13 Diperbarui: 12 April 2017   14:23 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akhirnya berlabuh ke pasangan calon (paslon) 2 dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta putaran kedua. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Romahurmuziy (Romi) juga merapatkan diri ke paslon petahana Ahok-Djarot (Adja).

Dengan begitu, empat partai yang pada putaran pertama mendukung paslon 1, Agus-Sylvi (Asi)—PKB, PPP, PAN, dan Demokrat—semuanya sudah menentukan sikap. Partai Amanat Nasional (PAN) memperkuat paslon 3 Anies-Sandi (Asa), sedangkan Partai Demokrat mengambil sikap nonblok.

 Dengan bergabungnya PPP versi Romi, artinya 100 persen PPP—gabungan versi Romi dan Djan Faridz—telah memperkuat Adja. Ditambah dengan PKB, maka dua partai yang sering disebut merupakan representasi umat Islam kini memperkuat pasukan Adja. Dua partai representasi Islam lainnya, PKS dan PAN, bernaung di bawah payung Asa.

Teoritis Adja Unggul

Para pakar memprediksi, raihan suara Adja 43% dan Asa 39,9% pada putaran pertama dapat dipertahankan pada putaran kedua. Angka itu sudah dianggap sebagai pemilih loyal kedua pihak.

Karena itu, pada putaran kedua, Adja hanya memerlukan tambahan 7,1% suara untuk keluar sebagai pemenang pilkada, sedangkan Asa butuh tambahan lebih besar, yakni sekitar 10,5% suara. Jadi, kebutuhan tambahan Adja lebih sedikit.

Dari realitas politik yang ada, kubu Adja diperkuat enam parpol, yakni PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB, sedangkan kubu Asa didukung tiga partai, yakni Gerindra, PKS, dan PAN. Karena didukung lebih banyak partai, peluang Adja seharusnya lebih besar ketimbang Asa. Tapi, berkaca pada putaran pertama, dukungan banyak partai tidak otomatis menjamin kemenangan. Buktinya, kubu Asi yang diusung empat partai justru tumbang dikalahkan Asa yang hanya diperkuat dua partai.

Dalam putaran pertama, isu agama dimainkan cukup kencang. Para pendukung Adja mendapatkan predikat menentang “ajaran agama Islam”. Ada warga yang, misalnya, semula ingin mencoblos Adja, berubah pilihan ke Asi atau Asa karena takut sanksi agama. Sekarang ketakutan itu hilang karena adanya partai Islam PPP dan PKB di barisan Adja.

Kedua partai ini merupakan simbol penting dukungan Islam ke paslon Adja. Jadi, dikotomi paslon muslim versus nonmuslim pupus dengan sendirinya. Isu seiman dan tidak seiman, kalau masih juga dimainkan, kemungkinan besar tidak lagi berdampak signifikan.

Karena itu, kaum muslimin yang semula ragu memilih Adja, keraguan itu kini sirna. Mereka dapat dengan legawa dan leluasa memilih paslon 2, tanpa harus dihantui sanksi agama di alam baka. Kondisi ini dapat mamengaruhi suara sangat signifikan bagi Adja.

Begitu pula halnya dengan ancaman tidak men-salat-kan jenazah pendukung paslon 2, kini tidak lagi mendapatkan legitimasi untuk mengulangi ancaman itu. Karena itu, pada putaran kedua ini Adja tidak lagi terganjal isu agama seperti pada putaran pertama.

Ahok mengklaim, isu penodaan agama menjadi salah satu penyebab perolehan suaranya tidak optimal pada putaran pertama. Setelah isu agama ini terpatahkan, dia yakin bakal menang, karena pada prinsipnya mayoritas warga Jakarta puas dengan kinerja kepemimpinannya. Bahkan, dia pun mengklaim, berdasarkan hasil survey terakhir, elektabilitasnya meningkat terus.

Jadi, atas dasar ini semua, kebutuhan tambahan 7,1% suara bagi Adja rasanya sangat memungkinkan dicapai. Karena itu, kans Adja untuk kembali memimpin Jakarta tampaknya lebih besar ketimbang Asa.

Asa Penantang Kuat

Namun, itu hanyalah peta teoritis. Kejutan masih mungkin terjadi. Kejutan itu, antara lain, seperti sering diucapkan Asa bahwa mayoritas warga Jakarta ingin gubernur baru, mayoritas penduduk ibukota ingin perubahan. Pada putaran pertama, klaim ini menjadi kenyataan, karena pemilih petahana minoritas, sedangkan mayoritas warga menjatuhkan pilihan kepada sang dua penantang, Asi dan Asa.

Seandainya kecenderungan ingin perubahan ini berulang, maka warga yang pada putaran pertama memilih Asi kemungkinan mayoritasnya akan beralih ke paslon 3 pada putaran kedua. Jika persentase mayoritas ini dapat mencapai 11%-12%, maka total raihan suara Asa, ditambah perolehan pada putaran pertama 39,9%, mencapai di atas 50%. Nah, artinya, pemenang pilkada digondol Asa.

Sebaliknya, jika massa yang pada putaran pertama memilih Asi ternyata berkorelasi dengan parpol pendukung, maka itu artinya massa PPP dan massa PKB akan setia mengikuti kedua partai ini pada putaran kedua, sehingga memilih Adja. Begitu pula dengan massa PAN, pada putaran kedua mereka setia mendukung PAN dan memilih paslon 3.

Bila itu yang terjadi, tugas kubu Asa adalah menarik sebanyak mungkin pendukung Demokrat yang nonblok. Di samping itu, Asa mendapat “peluru” baru dari dukungan partai Perindo pada putaran kedua. Partai pendatang baru pimpinan Hary Tanoesoedibyo (HT) ini potensial mendulang suara besar. HT sebagai bos sejumlah media cetak dan elektronik memiliki magnet untuk menarik suara dari pendukung Asi dan warga golput.

Jika akumulasi massa PAN ditambah massa Demokrat dan Perindo dapat diraih angka 11%, maka diakumulasi perolehan pada putaran pertama 39,9%, Asa punya kans kuat menang. Hal inilah yang menjadi faktor kejutan dari Asa.

Kejutan lain masih bisa terjadi jika empat hal berikut ini terwujud. Pertama, jika dalam sidang perkara penodaan agama, hakim memvonis Ahok bersalah sebelum Hari H pencoblosan 19 April, maka kemungkinan besar suara pemilih akan beralih ke Asa dalam jumlah yang signifikan.

Kedua, dalam pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras, ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa negara dirugikan sekitar Rp 190 miliar. Penyidikan kasus ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika sebelum hari pencoblosan KPK menyatakan Ahok terbukti melakukan kesalahan dalam pembelian RS tersebut, dampaknya pun besar. Diperkirakan Adja kehilangan suara signifikan, sebab citra petahana sebagai pemimpin bersih dan antikorupsi ternodai.

Ketiga, dalam sidang kasus kartu tanda penduduk elektronik (KTP)-el di pengadilan Tipikor, ada saksi di persidangan yang mengatakan semua mantan anggota Komisi II DPR menerima suap dari proyek ini. Ahok adalah anggota Komisi II DPR saat kasus ini terjadi. Jika Ahok dinyatakan terbukti ikut menerima aliran dana itu sebelum hari pencoblosan, dampaknya juga tak kecil. Mayoritas pemilih akan mengalihkan suara ke Asa.

Keempat, pada kasus penggusuran Bukti Duri, Jakarta Selatan, warga menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Sekarang kasus ini sedang diproses di pengadilan yang lebih tinggi. Jika sebelum hari pencoblosan pengadilan memutuskan warga menang lagi, ini pun berpengaruh pada pemilih. Mereka diperkirakan juga mengalihkan suara ke paslon 3.

Namun, kemungkinan tersebut hanyalah teori di atas kertas, yang rasanya hampir mustahil terealisasi. Alasannya seperti berikut ini.

Dalam sidang kasus penodaan agama, agendanya baru sampai pada penuntutan jaksa. Agenda vonis masih memerlukan sekian banyak sidang lagi. Jadi, sidang untuk menjatuhkan vonis tersebut pastilah agendanya setelah tanggal 19 April.

Untuk kasus pembelian RS Sumber Waras dan KTP-el yang masih disidik KPK, selama ini KPK dikenal profesional dan hati-hati. Jadi, rasanya sulit KPK mengumumkan Ahok sebagai tersangka sebelum 19 April yang dapat dipersepsikan KPK “ditunggangi” kepentingan politik. KPK pastilah menghindari hal ini.

Khusus dalam penggusuran warga Bukit Duri, jika pengadilan yang sedang menangani kasus ini membuat putusan sebelum 19 April, tentu publik bakal menuding pengadilan bertindak tidak adil, merugikan pihak Adja dan menguntungkan Asa. Tudingan tidak hanya dari publik nasional, juga mancanegara, karena sidang perkara ini diliput juga oleh wartawan luar negeri. Rasanya pengadilan tidak akan gegabah mengambil risiko itu.

Dari gambaran tersebut rasanya masih sulit menerka siapa juara pilkada Jakarta. Adja memang unggul, namun keunggulannya tak terlalu besar. Jadi, masih dimungkinkan disusul Asa dalam sisa waktu sebelum 19 April.

Karena itu, kita tunggu saja tanggal 19 April saat warga Ibukota bersabda di bilik suara. Setelah itu, quick count (hitung cepat) dapat menentukan pendukung Adja atau Asa yang akan kecewa dan berurai air mata. ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun