Ahok mengklaim, isu penodaan agama menjadi salah satu penyebab perolehan suaranya tidak optimal pada putaran pertama. Setelah isu agama ini terpatahkan, dia yakin bakal menang, karena pada prinsipnya mayoritas warga Jakarta puas dengan kinerja kepemimpinannya. Bahkan, dia pun mengklaim, berdasarkan hasil survey terakhir, elektabilitasnya meningkat terus.
Jadi, atas dasar ini semua, kebutuhan tambahan 7,1% suara bagi Adja rasanya sangat memungkinkan dicapai. Karena itu, kans Adja untuk kembali memimpin Jakarta tampaknya lebih besar ketimbang Asa.
Asa Penantang Kuat
Namun, itu hanyalah peta teoritis. Kejutan masih mungkin terjadi. Kejutan itu, antara lain, seperti sering diucapkan Asa bahwa mayoritas warga Jakarta ingin gubernur baru, mayoritas penduduk ibukota ingin perubahan. Pada putaran pertama, klaim ini menjadi kenyataan, karena pemilih petahana minoritas, sedangkan mayoritas warga menjatuhkan pilihan kepada sang dua penantang, Asi dan Asa.
Seandainya kecenderungan ingin perubahan ini berulang, maka warga yang pada putaran pertama memilih Asi kemungkinan mayoritasnya akan beralih ke paslon 3 pada putaran kedua. Jika persentase mayoritas ini dapat mencapai 11%-12%, maka total raihan suara Asa, ditambah perolehan pada putaran pertama 39,9%, mencapai di atas 50%. Nah, artinya, pemenang pilkada digondol Asa.
Sebaliknya, jika massa yang pada putaran pertama memilih Asi ternyata berkorelasi dengan parpol pendukung, maka itu artinya massa PPP dan massa PKB akan setia mengikuti kedua partai ini pada putaran kedua, sehingga memilih Adja. Begitu pula dengan massa PAN, pada putaran kedua mereka setia mendukung PAN dan memilih paslon 3.
Bila itu yang terjadi, tugas kubu Asa adalah menarik sebanyak mungkin pendukung Demokrat yang nonblok. Di samping itu, Asa mendapat “peluru” baru dari dukungan partai Perindo pada putaran kedua. Partai pendatang baru pimpinan Hary Tanoesoedibyo (HT) ini potensial mendulang suara besar. HT sebagai bos sejumlah media cetak dan elektronik memiliki magnet untuk menarik suara dari pendukung Asi dan warga golput.
Jika akumulasi massa PAN ditambah massa Demokrat dan Perindo dapat diraih angka 11%, maka diakumulasi perolehan pada putaran pertama 39,9%, Asa punya kans kuat menang. Hal inilah yang menjadi faktor kejutan dari Asa.
Kejutan lain masih bisa terjadi jika empat hal berikut ini terwujud. Pertama, jika dalam sidang perkara penodaan agama, hakim memvonis Ahok bersalah sebelum Hari H pencoblosan 19 April, maka kemungkinan besar suara pemilih akan beralih ke Asa dalam jumlah yang signifikan.
Kedua, dalam pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras, ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa negara dirugikan sekitar Rp 190 miliar. Penyidikan kasus ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika sebelum hari pencoblosan KPK menyatakan Ahok terbukti melakukan kesalahan dalam pembelian RS tersebut, dampaknya pun besar. Diperkirakan Adja kehilangan suara signifikan, sebab citra petahana sebagai pemimpin bersih dan antikorupsi ternodai.
Ketiga, dalam sidang kasus kartu tanda penduduk elektronik (KTP)-el di pengadilan Tipikor, ada saksi di persidangan yang mengatakan semua mantan anggota Komisi II DPR menerima suap dari proyek ini. Ahok adalah anggota Komisi II DPR saat kasus ini terjadi. Jika Ahok dinyatakan terbukti ikut menerima aliran dana itu sebelum hari pencoblosan, dampaknya juga tak kecil. Mayoritas pemilih akan mengalihkan suara ke Asa.