Mohon tunggu...
Beina Prafantya
Beina Prafantya Mohon Tunggu... Guru - Editor, Penggiat Pendidikan, Istri, Ibu Satu Anak

Saya mencintai dunia pendidikan dan pengembangannya, tertarik dengan dunia literasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

When Your Mom is (Almost) Your Hero

31 Januari 2023   11:47 Diperbarui: 31 Januari 2023   12:51 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya dulu pernah takut kecoak. Sangat takut bahkan. Padahal, ia tidak pernah menggigit atau menyakiti saya. Konon, air seni-nya yang menyebabkan mata bengkak jika ia hinggap di wajah kita. Entah benar entah tidak, tapi itu menambah ketakutan saya kepadanya.

Saya tidak suka kecoak. Ia menjijikkan. Jika terinjak, ada sesuatu sejenis pasta berwarna putih keruh yang keluar dari tubuhnya. Saya tidak tahu dan tidak ingin tahu itu apa. Hanya saja, aroma pasta yang tidak menyenangkan itu masih lekat dalam kenangan saya.

Kecoak, ia muncul begitu saja, lebih lincah pada malam hari. Yang paling menyebalkan, ia kerap bersembunyi di bagian yang tidak terduga. Kehadirannya seperti sebuah kejutan yang tidak diharapkan, saat saya sedang terkantuk-kantuk dan tidak sepenuhnya sadar.

Saat bertemu, saya dan sang kecoak sama-sama terkaget. Saya menghindar, ia malah mengikuti. Saat itulah muncul Mama saya, membawa sapu untuk memukulnya. Sekali hentak, pukulannya telak, sang kecoak terkapar mutlak.

Heroik sekali, bukan?

Bagaimana tidak? Apa yang dilakukan Mama adalah sebuah aksi penyelematan. Bukan menyelamatkan kecoak tentu, melainkan menyelamatkan saya. 

Sekalipun Mama melakukannya sambil menasihati ini itu, saya tidak terlalu peduli. Mama mengatakan, itu cuma kecoak. Sekali pukul, ia tak berdaya.

Bapak menguatkan, kalau saya takut, kecoak menangkap sinyal saya. Jika saya lari, ia akan menghampiri. Ia akan berlindung di bawah bayangan tubuh saya. Jadi, hadapi saja, ia justru takut pada keberanian, begitu katanya.

Namun, saya tetap takut. Saat itu, saya hanya butuh perlindungan, bukan nasihat. Tindakan Mama yang tepat jauh lebih menenangkan.

Sekarang, saya yang menjadi ibu. Saya memang bukan Mama. Tapi, saya merasa semakin hari semakin seperti Mama. Saya makin yakin dengan sebuah teori yang menyatakan bahwa sifat seorang ibu akan menurun hingga 80% kepada anak perempuannya.

Ternyata, sekarang anak saya-lah yang takut dengan kecoak, sama seperti saya. Mungkin sudah 10% sifat saya menurun padanya. Seperti sebuah remake movie, saya melakukan reka adegan yang kurang lebih sama dengan Mama ketika berhadapan dengan kecoak.

Malam tadi, saya sudah menggeprek lagi seekor kecoak lagi. Sang kecoak sesungguhnya tidak bersalah, ia hanya semacam mencari nafkah untuk menghidupi dirinya. Ia muncul dari tempat sewajarnya. 

Barangkali memang ada bagian yang kurang terpelihara pada bagian tertentu di rumah saya, Maka itulah dia muncul dari sana. Malang nasibnya karena harus bertemu saya yang sudah mendapat titisan sifat heroik Mama. 

Saat inilah nasihat-nasihat itu seperti sebuah rewind rekaman suara. Terngiang-ngiang tentang cara untuk menjadi pemberani. Saya pun menjadi pemberani, mengambil sebuah sikat bertangkai untuk menggepreknya. Mission accomplished!

Di balik aksi penggeprekan, anak saya harus rela hati mendengarkan rangkaian omelan saya hingga tiba di tempat tidurnya. Sama seperti saya, ia tampak tak peduli. Yang terpenting, hatinya tenang tanpa gangguan kecoak yang menghantui.

Saya terpekur. Sama sekali tidak berpikir tentang sifat heroik saat aksi penggeprekan, melainkan mengambil solusi tercepat dan termudah untuk semua pihak. Anak saya tenang dengan dengkuran halusnya. Nyenyaklah pula tidur saya.

Nak, your grandma is the bravest woman ever in my life. She is a hero for you mom. But, you have to see clearly that your mom is not really a truly hero. She might consider your comfort, but most she concerned more her own. She's trying to be your hero, as always. But in this case, she was just close to it. Almost!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun