Subuh ini seseorang mengirimkan pesan pribadi di chat whatsapp yang berisi sebuah tulisan kontemplatif tentang guru.Â
Tulisan singkat ini buah pikiran Bapak Syamril, seorang mentor di Mini MBA for Islamic School Leader yang sempat kami ikuti beberapa waktu lalu.Â
Saya yakin tidak ada unsur bercanda dalam tulisan itu, isinya sangat serius, terbukti dengan tiga terminologi pada bagian awal tulisan ini:Â say, stay, strive.
Say mewakili positive words yang inspiratif dan motivasional. Say mewakili kebanggaan dan ketulusan hati.
Stay menggambarkan dedikasi. Ketulusan guru menjadi bagian dari tugas yang akan membuatnya insist to stay sekalipun pendapatan dianggap tidak berbanding lurus dengan kerja kerasnya.
Strive mendeskripsikan bahwa say dan stay saja tidak cukup. Memilih profesi sebagai guru adalah integritas luar dalam, keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Walk the talk yang tentu sangat berat.Â
Siapapun yang memilih profesi ini dengan sadar, saya yakin, ia akan menyadari betul poin ini.
Di bagian lain tulisan itu, saya agak tergelitik dengan tiga terminologi untuk mendampingi kata guru: pedati, merpati, dan sejati. What a rhyme!
Pedati, sesuatu yang identik dengan hewan yang menariknya. Entah itu kuda, entah itu sapi, atau mungkin unta? Anggap saja begitu.Â
Namun, apa pun hewannya, poinnya lebih pada kondisi hewan penarik pedati itu. Ia hanya akan bekerja dengan perintah dan ancaman cambuk, dalam keterpaksaan, di bawah ancaman.Â
Apakah ini faktual? Mari kita merenung masing-masing saja. Siapa pun boleh berasumsi, saya tidak berwenang mengkritisi. Â
Merpati, hewan lagi. Bedanya, ia adalah burung yang akan menyambangi ketika tersedia pakan yang menarik hati, menggugah selera diri.Â
Ketertarikan itu timbul karena materi, bukan atas keinginan untuk mengabdi. Jika bicara analogi, ayo kita merenung lagi. Sekali lagi, saya tidak berhak untuk mengintervensi hak siapa pun untuk beropini.
Sejati, tentu bukan hewan. Ia berkategori kata sifat alias adjektiva yang berarti tulen atau asli. Kesejatian pada guru adalah ia yang bersungguh-sungguh memilih profesi ini.Â
Ia akan mengerahkan seluruh pikiran dan energi untuk bekerja dengan hati seperti kata Ibu Angi Siti Anggari, Teaching is the Work of Heart.Â
Beliau bilang, guru adalah pekerjaan hati, bukan melulu perihal kompetensi. Butuh dedikasi tinggi untuk sebuah kualitas. Jika ini yang kita tuju, otomatis energi dan pikiran akan tercurah begitu saja.
Saya guru. Lalu, bagaimana? Pedati, merpati, atau sejati? Saya lagi-lagi tidak tahu. Saya boleh memilih salah satu, orang lain boleh setuju ataupun ragu.Â
Namun, saya menyadari bahwa menjadi guru memang seperti uji nyali seperti mudah hanya sekadar memberikan materi, tapi terasa ada yang mengganjal di hati manakala wajah siswa tampak ruwet tak terperi.
Maafkan saja ya, Nak! Guru kalian ini memang suka sekali membuat kerusuhan dalam otak kalian. Namun, kalian perlu mengingat bahwa kerusuhan itu akan menjadi sebuah keindahan dalam kehidupan kalian kelak. Ruwet hari ini, sukses dunia akhirat sudah menanti.
Selamat hari guru untuk saya dan teman-teman seprofesi. Semoga konsistensi selalu terjaga untuk tetap menjadi sejati.
My very best teacher who is also my beloved Father, Bapak Sjafrie, Â this writing is dedicated to you.
PS. Big thanks to all teachers in my life: my boss and my former boss, may Allah bless you all the way.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H