Jika diteliti lebih mendalam, ternyata ada tujuan yang lebih esensial dalam pembelajaran tematik integratif ini.Â
Saya kembali tidak akan berpanjang-panjang dalam pembahasan ini. Namun, saya menggarisbawahi bahwa dalam pembelajaran tematik integratif, kita membelajarkan siswa dengan cara yang lebih sastrawi.Â
Mereka lebih banyak berkreatif dengan berbagai produk kesastraan seperti drama pendek, film, poster, atau produk kebahasaan lain yang secara nuansa kesastraan cukup kental.
Mengapa?
Alasannya sederhana, kita berupaya mendekatkan mereka dengan kenyataan. Dalam salah satu buku yang ditulis Bobby de Porter disebutkan bahwa dalam pembelajaran siswa harus mengetahui apa manfaat pembelajaran tersebut untuknya.Â
Dengan demikian, pembelajaran yang bermanfaat tentu haruslah yang logis plus realistis dengan kehidupan mereka.Â
Jika kembali dihubungkan dengan salah satu sifat sastra, ada istilah "mimesis" atau tiruan dari kenyataan. Tentu dalam hal ini, tiruan haruslah mendekati aslinya. Dengan demikian, tetaplah harus logis dan realistis.
Maka dari itu, pembelajaran sastra tidak perlu lagi berdiri sendiri apalagi dianggap pembelajaran yang kalah pamor alias terpinggirkan. Sastra menjadi penopang kuat bagi mata pelajaran lain untuk membantu siswa membelajarkan dirinya.
Referensi
- DePorter, Bobby. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar dengan Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit Kaifa, PT Mizan Pustaka.Â
- DePorter, Bobby. 2020. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Dalam Ruang-Ruang Kelas. Bandung: Penerbit Kaifa, PT Mizan Pustaka.Â
- Suriasumantri, Jujun S. 2017. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Keterkaitan Ilmu, Agama, dan Seni. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Â
- Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H