Murah hatinya orang tua pun menjadi bumerang. Ketika anak terbiasa meminta dan menerima dengan mudah, dia akan terus mengandalkan orang tua. Saya, sekali lagi sebagai orang tua harus belajar bahwa segala sesuatu haruslah dicapai dengan perjuangan. Biarlah anak-anak merasakan nikmatnya mencapai hasil setelah perjuangan keras sehingga dia akan lebih menghargai waktu dan orang lain.Â
c. Penghindaran realitas dan risikoÂ
Pernah saya mendengar salah satu contoh yang disampaikan oleh seorang psikolog. Anak yang dibiasakan untuk aman dan nyaman akan sulit menghadapi realitas dan risiko. Contoh yang dikemukakan adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang harus berhadapan dengan kenyataan menghadapi dosen killer saat bimbingan skripsinya. Karena tidak tega, orang tua merasa bahwa kenyataan pahit yang dialami anaknya ini tidaklah pantas dan akhirnya sang ibu menelepon pihak universitas, mengadukan perihal ini: Anak saya tidak diperlakukan layak oleh dosennya. Bagaimana ini? Tidakkah orang tuanya berpikir, bisa jadi anaknya yang lamban berproses dan merugikan dirinya sendiri? Tidakkah orang tuanya berpikir, bisa jadi anaknya yang malas dan tidak mau membuka buku atau jurnal teori untuk melengkapi skripsinya? Banyak lagi pertanyaan lainnya. Mahasiswa atau mahaibu yang sedang skripsi?
Salah satu contoh lain, cerita kakak saya. Seorang management trainee yang terekrut sebuah BUMN memiliki otak cerdas. Ya, makanya dia lulus. Namun, apa yang terjadi saat wawancara akhir? Sebagaimana kita tahu bahwa untuk karyawan sebuah BUMN ada aturan bahwa tidak boleh tiba-tiba resign dalam masa tertentu apa pun persoalannya. Lalu, ditanyakanlah perihal ini kepada sang management trainee. Jawabannya, saya akan tetap keluar kalau tidak betah. Lalu, bagaimana, kana da penalty? Jawabannya, tidak apa, ada ayah yang akan membayarnya. Senyumlah saya.Â
d. Buruknya kemampuan berpikirÂ
Kebiasaan pengambilalihan penyelesaian masalah seperti dibahas sebelumnya menyebabkan kemandulan berpikir. Otak anak tidak akan terstimulasi untuk mencari solusi. Sekali lagi, otak tidak akan berpikir jika masalah yang dihadapi terlalu mudah dan biasa untuk diselesaikan. Kreativitas rendah, tidak akan ada inovasi dalam hidupnya. Seumur hidup dia akan terus menjadi follower, bukan trend setter.Â
e. Tidak dipikulnya beban kehidupanÂ
Kembali ke poin lambatnya balig yang membahas Q.S. Albaqarah 214. Akil tidak akan tumbuh jika anak tidak memikul beban hidup. Sebetulnya, anak telah dianugerahi mekanisme pertahanan tubuh yang sangat kompatibel dengan permasalahan hidup.Â
Merujuk pada Alquran lagi bahwa Allah tidak akan membebani seseorang dengan suatu persoalan yang tidak akan sanggup dipikulnya. Jadi, apalah yang kita khawatirkan? Biarkan anak kita berada dalam kesulitan maka dia akan menemukan solusi kreatif dengan permasalahannya. Tugas kita hanyalah mengawasi, membantu dia saat benar-benar dibutuhkan, terutama saat mulai salah jalan. Hanya itu?Â
Mari Ubah ParadigmaÂ
Saya, Bapak dan Ibu, ditugasi untuk kembali ke ajaran Islam. Mari kita sadaril bahwa akil dan balig merupakan satu paket. Tidak balig duluan lalu akil. Tetapi, jika akil sudah pasti balig. Dalam Islam sekali lagi tidak dikenal konsep remaja. Yang ada hanyalah anak yang menjadi dewasa.Â