Mohon tunggu...
Egy Fernando
Egy Fernando Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pendiam dan Pemalu. Menulis artikel hanya karena niat dan iseng.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RUU PKS: Legalisasi Kepentingan Rakyat Terbentur karena Pembahasan yang "Sulit"

3 Juli 2020   14:26 Diperbarui: 3 Juli 2020   16:18 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anti kekerasan seksual

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bukanlah tujuan tetapi alat bagi kita untuk mencapai tujuan yang lain yaitu Keadilan Gender

Beberapa hari yang lalu tepatnya Selasa, 30 Juni 2020, seluruh rakyat Indonesia digemparkan dengan usulan dan tindakan resmi Dewan Perwakilan Rakyat terkait untuk mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. 

"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Hal ini tentunya menyebabkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi kalangan perempuan khususnya korban pelecehan dan kekerasan seksual. 

Bagi sosok pejabat publik yang terpilih berdasarkan voting suara dari rakyat, tindakan tersebut sangatlah tidak etis dan sama sekali tidak mencerminkan keberpihakan kepada rakyat itu sendiri. Dapat dikatakan keputusan tersebut merupakan tindakan tercela dan sekaligus menandakan putusnya urat kepedulian dari Dewan yang "katanya" Perwakilan Rakyat.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sangatlah penting untuk dibahas, apalagi pernah hingga masuk kedalam salah satu tuntutan aksi besar Reformasi Dikorupsi pada September 2019 lalu, yang berupa pernyataan untuk mendesak segera disahkannya RUU PKS. 

Kemunculan RUU PKS berakar dari inisiatif Komnas Perempuan untuk menginginkan adanya payung hukum tersendiri dalam menangani permasalahan kekerasan seksual yang sangat marak di negeri ini. Digagas pada tahun 2012 dan mengaca dari temuan data yang ada, menurut Catatan Tahunan Kekerasan Seksual dari tahun 2001 hingga 2011 kekerasan seksual kerap kali terjadi pada kalangan perempuan yang diantaranya berupa kekerasan fisik, psikologis dan pengabaian ekonomi.

Kekerasan Seksual dapat terjadi kepada siapapun mulai dari perempuan, laki-laki, anak-anak bahkan hingga penyandang disabilitas. Kekerasan seksual juga dapat terjadi dimanapun kita berada, entah itu dalam ranah perkawinan/hubungan pribadi, ranah personal/privat, keluarga, tempat umum/publik/komunitas, hingga lingkup besar seperti negara. Kemudian terdapat lonjakan drastis sebanyak 792% dari tahun 2008 hingga 2019 dan akibat dari adanya data tersebut Komnas Perempuan lalu menganalisis kemudian menemukan bahwa dalam sehari rata-rata terdapat sekitar 35 perempuan yang menjadi korban. 

Komnas Perempuan juga menyatakan bahwa setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Data tersebut belum termasuk bentuk kekerasan gender berbasis online yang kini telah ramai di dunia media sosial. 

Dari data tersebut dapat ditemukan ada 15 jenis kekerasan seksual yang kemudian diperas menjadi 9 jenis yakni, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.

Jika melihat pemaparan data-data diatas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya tidak "sulit" untuk membahas bahkan mengetuk palu pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Definisi "sulit" seperti apa yang dimaknai para pemangku jabatan sampai-sampai mencabut RUU PKS dari daftar prioritas? Terlebih DPR dapat dengan mudah mengakses data tersebut melalui laman Komnas Perempuan dan tentunya tidak akan mendapat halangan berat terkait dukungan pengesahan RUU PKS. Melihat keputusan yang dibuat oleh mereka yang duduk di kursi wakil rakyat, RUU PKS terjegal karena alasan sepihak yang bahkan dinilai tidak logis dan hanya retorika belaka, seakan-akan ingin menyerah kemudian lari dan angkat tangan dari "kewajiban" yang seharusnya dilaksanakan.

Masyarakat menilai DPR sangatlah malas bahkan acuh tak acuh terhadap persoalan kekerasan seksual, DPR juga dianggap tidak memiliki kepekaan moral dan empati hati nurani sedikitpun terhadap perasaan korban atas kasus kekerasan seksual. Dikarenakan RUU PKS ini sudah masuk kedalam prolegnas dari periode kepemimpinan sebelumnya dan di rezim baru yang telah berlangsung 10 bulan lebih saat ini, seharusnya DPR memiliki waktu yang begitu panjang untuk membahas persoalan Rancangan Undang-Undang kali ini. Namun dalam pernyataannya, Komisi VIII selaku panitia kerja (panja) hanya buntu pada pembahasan RUU PKS terkait  judul dan definisi kekerasan seksual. 

"Saya dan teman-teman di Komisi VIII melihat peta pendapat para anggota tentang RUU PKS masih seperti periode yang lalu. Butuh ekstra untuk melakukan lobi-lobi," kata Marwan kepada Kompas. Akan tetapi Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengatakan kepada Republika bahwa "Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban"

Adapun mengingat Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UU Minerba yang dengan begitu banyak polemiknya mulai dari pertentangan dan perlawanan masyarakat terhadap perusahaan tambang, lalu tidak mengandung hak veto dari rakyat itu sendiri dalam pengesahannya, dan juga mengesampingkan kepedulian alam serta lingkungan hidup. Namun itu semua dapat diketuk palu dengan "mudah" hanya dalam tempo kurang dari seminggu. Kemudian dalam jangka waktu sangat dekat ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya membahas terkait Omnibus Law--RUU Cipta Kerja padahal Negara Indonesia saat ini sedang di masa suram akibat Pandemi Covid-19 dan maraknya krisis kasus Pemutusan Hubungan Kerja.

Jikalau dibandingkan dengan UU Minerba dan RUU Cipta Kerja yang termasuk dalam proyek besar negara, maka tidaklah sulit melirik ataupun fokus untuk membicarakan tentang RUU PKS tersebut. 

Menurut saya, tidak ada persoalan "sulit" dalam membahas suatu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena dengan data yang sudah jelas, desakan dan keluhan dari para masyarakat melalui penyintas korban kekerasan seksual, kemudian didukung aksi nyata yang telah digarap bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa RUU ini harus segera disahkan. Atas dasar moral dan rasa empati terhadap para korban sudah lebih dari cukup untuk memperjuangkan hingga melegalisasikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Meninjau dari segi kepentingan masyarakat utamanya pada kalangan perempuan, RUU PKS ini sangat esensial untuk dilegalkan karena mengingat urgensi dari keselamatan untuk memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual melalui lembaga serta payung hukum yang kuat dan tidak hanya sekedar menitikberatkan pelaku terkait hukum pemidanaaan. Seperti yang kita tahu aktivis penggiat dan penyintas kekerasan seksual mengalami kesulitan dalam menyelesaikan kasus para korban, dengan membawanya kedalam jalur hukum hal ini tidak serta merta akan menghasilkan penyelesaian kasus yang tegas, dikarenakan sering kali setiap memberikan laporan selalu ditanggapi dengan hal-hal yang tidak sewajarnya seperti diberikan pertanyaan rajin sholat atau tidak, mempertanyakan kedekatan dengan pelaku, terlalu mempermasalahkan gaya berpakaian, adanya penanggapan yang tidak serius dan malah menjurus dengan menyalahkan korban serta menasehati korban yang notabene tidak ada keterkaitannya dengan penyelesaian akan kasus kekerasan seksual tersebut.

Pihak berwajib beserta aparat penegak hukum juga sering kali mengalami kebingungan dalam menentukan aturan hukum yang berlaku untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi diluar dari kekerasan rumah tangga, dikarenakan tidak adanya payung hukum yang jelas perihal masalah kekerasan seksual di ranah publik ataupun secara umum. 

Alhasil, penanganan masalah kekerasan seksual pada proses jalur hukum selalu berujung sia-sia dan justru sama sekali tidak memberikan dampak berarti kepada korban dikarenakan kurangnya akomodasi dari segi produk perlindungan hukum dan penjaminan pihak negara.  Alih-alih berharap dapat perlindungan secara utuh justru menerima stigmatisasi buruk dari lingkungan masyarakat sekitar.

Oleh karena itu dihadirkan dan diusahakan untuk segera melegalisasikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dikarenakan legalitas ini nantinya bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan seksual; dapat memberikan pertolongan berupa bantuan medis terkait rehabilitasi psikologis dan psikososial kepada para korban; memberikan keadilan dan keamanan kepada masyarakat sekitar khususnya para korban; menghapuskan tindakan diskriminasi terhadap perempuan; serta memberikan dan menerapkan mekanisme penanganan, perlindungan dan pemulihan terhadap masyarakat dan para korban; selain itu dapat menjamin juga memastikan peran negara beserta pemerintah dan lembaga yang ada untuk lebih turut aktif berpatisipasi dalam menciptakan lingkungan bersih dari kekerasan seksual.

Jika memang pada dasarnya kalian para pemangku jabatan yang dipilih dari suara rakyat tidak mampu untuk menuruti permintaan rakyat serta berpihak dan mengutamakan kepentingan rakyat itu sendiri maka lebih baik kalian turun dari jabatan tersebut karena legitimasi yang "katanya" wakil rakyat sudah tidak tercerminkan pada diri kalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun