Bersukacitalah bagi yang merayakan hari kelahirannya, karena Ia lahir dari rahim perjuangan rakyat dengan diiringi jeritan perlawanan terhadap kapitalisme serta imperialisme/kolonialisme, dan bukan karena atas pengorbanan suatu golongan.
Seperti slogan diawal, "Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti exploitation de I'homme par I'homme, anti exploitation de nation par nation." (Soekarno, 6 November 1965).Â
Pancasila merupakan falsafah dasar ideologi atau cara berpikir atas suatu pemahaman paling dasar dari tiap individu manusia. Pancasila lahir dari suatu bentuk aspirasi pemikiran seluruh rakyat Indonesia. Soekarno telah lama merenungkan dasar Negara Indonesia sebelum akhirnya proklamasi dikumandangkan didepan khalayak ramai.Â
Ketika itu di rumahnya daerah Flores, Soekarno sedang melamun mengulik tradisi-tradisi Bumi Ibu Pertiwi yang pada akhirnya berubah menjadi landasan ideologi suatu bangsa.
 Soekarno menganggap bahwa Ia tidak menciptakan Pancasila, melainkan Tuhan sendirilah yang menurunkan ilham-Nya kepada Soekarno yang kemudia berakhir menjadi lima butir mutiara warisan negara saat ini.
Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 melalui proses yang begitu cukup panjang, mulai dari pembentukan BPUPKI dan PPKI hingga proses revisi terakhir yang tertuang pada Piagam Jakarta.Â
Pancasila tidak hanya dipandang sebagai butir-butir yang menghiasi peradaban bangsa ini, namun Pancasila harus dimaknai sebagai pondasi dan landasan metodologi dalam mewujudkan suatu cita-cita utopis bangsa yakni kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sila yang menjadi pokok landasan metodologi haruslah dapat dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari guna mencapai wujud dari cita-cita bangsa tersebut.
Lahirnya menjadi cikal bakal pandangan utopis bangsa, dan wujudnya adalah cerminan dari seluruh keberagaman Bangsa Indonesia. Aku memuliakannya karena Ia adalah pemersatu dari segala perbedaan, bukan atas interpretasi tunggal dari adanya kepentingan.
Sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" ialah menggambarkan bahwa Negara harus menjamin kebebasan rakyatnya dalam menjalani atau meyakini agamanya masing-masing. Bung Karno mengatakan "Biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri.Â
Hendaknya tiap-tiap orang menjalankan ibadahnya sesuai cara yang dipilihnya; Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat-menghormati satu sama lain." Namun hal tersebut belum sepenuhnya terjadi, masih ada beberapa orang atau kasus intoleransi yang terjadi. Imparsial menemukan adanya 31 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia sejak November 2018 hingga November 2019.Â
Mayoritas kasus intoleransi tersebut yakni pelarangan ibadah, lalu kasus hangat diawal tahun 2020 tentang penolakan Renovasi Gereja Katolik di Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Ormas setempat.Â
Ketika itu Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa kasus tersebut termasuk masalah intoleransi, namun seminggu berselang Staff Khusus Menteri Agama mengatakan bahwa tidak ada masalah intoleransi dan hanya menganggapnya sebagai masalah sepele.
Selain itu terdapat sila kedua yang mana berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan memiliki makna bahwa negara sudah seharusnya memanusiakan manusia dengan memberikan hak perlindungan kepada rakyatnya serta menjunjung rasa peri-kemanusiaan.Â
Pemerintah juga harus bisa menyelesaikan segala kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi, akan tetapi realitanya pemerintah abai akan itu semua. Tragedi Mei 1998 yang menyangkut Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, beserta kasus aktivisi lainnya tidak kunjung selesai.Â
Aksi Kamisan di depan Istana seolah-olah hanya dianggap panggung komedi bagi para elit birokrat. Alih-alih berjanji menumpaskan segala kasus HAM, ternyata hanya menambah kasus HAM baru dengan segala tindakan represi berupa pemukulan, penganiayaan hingga berujung pembunuhan.Â
Kasus tersebut terjadi di aksi Reformasi Dikorupsi pada bulan September 2019 lalu, yang mana aparat melakukan tindakan kebrutalannya terhadap mahasiswa hingga menjatuhkan korban jiwa.
Selanjutnya ada sila ketiga yakni "Persatuan Indonesia", konteks dari persatuan yang dimaknai mengacu pada nasionalisme. Dapat dikatakan Nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, melainkan lebih kepada sebuah "proyek bersama" untuk membangun masa depan bangsa.Â
Nasionalisme hadir dan muncul ketika masyarakat dalam suatu wilayah telah memiliki tujuan atau masa depan bersama dan biasanya erat sekali dengan rasa persaudaraan yang tinggi. Contohnya pada jaman dulu muncul gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java, Jong Batak dan lain-lain.Â
Pada waktu itu yang dilakukan mereka hanyalah untuk memperjuangkan hak atas tanah dan wilayahnya sendiri ketika sedang dijajah oleh bangsa belanda.Â
Akibat penindasan dan adanya harapan bersama atas kemerdekaan dari suatu wilayah adalah awal rasa nasionalisme yang tumbuh di kalangan masyarakat sekitar, yang kini menjadikan Bangsa Indonesia terdiri dari Sabang sampai Merauke.
Jika kita melihat di era saat ini banyak juga ditemukan oknum-oknum yang memberitakan propaganda untuk menghancurkan makna sakral dari sila ketiga ini. Seperti menganggap bahwa Gerakan Aceh Merdeka dan Separatis Irian adalah cikal bakal dari perpecahan Indonesia. Tetapi jika kita meninjau lebih dalam, Rakyat Aceh dan Papua melakukan hal seperti itu dikarenakan mereka merasa keberadaannya tidak pernah dianggap atau seperti diasingkan di tanah dan wilayah bangsanya sendiri.
Mereka melakukan aksi demonstrasi sebagai ungkapan protes terhadap pemerintah bahwa mereka juga bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan segala hak asasi mereka baik itu kewarganegaraan ataupun kenyamanan dalam beraktivitas, haruslah dipenuhi oleh negara beserta seluruh rakyat di Indonesia.
Kemudian ada sila yang keempat, yakni "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" yang memiliki makna bahwa negara haruslah mengutamakan kepentingan masyarakat dengan menerapkan sistem demokrasi.Â
Bung Karno meyakini bahwa kekuatan pemerintahan terletak pada dasar kerakyatan, beliau pun berkata "Kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan. Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu".Â
Begitu juga dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya berlandaskan atas segala kepentingan rakyat. Jika melihat kondisi kebijakan pemerintah saat ini, itu semua belum terwujudkan di tanah air kita. Yang katanya Negara Demokrasi tapi praksisnya seperti Autokrasi. Ketika rakyat melontarkan kritik dan aspirasi, justru bukan solusi yang didapatkan, melainkan balasan represi dan kriminalisasi.Â
Terlebih menyoal berita sedih tentang kasus pengesahan UU Minerba, yang prosesnya sama sekali tidak ada keterbukaan terhadap masyarakat dalam proses penyusunan naskah. Kepentingan rakyat sama sekali tidak tercantumkan dalam UU Minerba. Undang-Undang tersebut cuman sekedar lembaran proposal yang ditujukan kepada para Elit Oligarki untuk tetap membuat rakyat semakin sengsara.Â
Rakyat sama sekali tidak diturut sertakan dalam suatu proses yang begitu krusial tersebut, jelas sekali ini mengancam masa depan para petani yang nantinya sawah/ladang mata pencaharian mereka akan semakin lama semakin terkubur oleh pasir dan batu tambang. Selain itu Omnibus Law Cipta Kerja masih berada ditangan DPR dan kemungkinan mereka juga siap kapanpun untuk mengetok palu tanpa melirik aspirasi dari kalangan rakyat kecil khususnya kaum buruh.
Sila terakhir yakni sila kelima yang berbunyi "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", Soekarno mengingatkan pada kita semua bahwa dirinya telah lama mengharapkan Ratu Adil.Â
Soekarno mengatakan bahwa "Kita tidak menghendaki persamaan politik semata, Kita ingin Demokrasi Sosial. Demokrasi Ekonomi. Satu dunia baru di dalam mana terdapat kesejahteraan bersama." Sila kelima dapat dikatakan sebagai salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang mengharapkan adanya bentuk nyata dari suatu keadilan atas Sosialisme Indonesia.Â
Berharap untuk mendekati Ratu Adil justru berakhir pada Ratu Dzalim, semakin kesini pemerintah semakin berlaku sewenang-wenang dalam mengemban jabatan, selalu bertindak semaunya sendiri tanpa menggunakan rasa kepeduliannya kepada masyarakat. Banyak sekali ditemukan kasus penuduhan makar, kriminalisasi masyarakat adat dan para aktivis serta keberpihakan hukum yang berat sebelah.Â
Jika dijabarkan terdapat beberapa kasus seperti rasisme Papua yang dilakukan aparat pada tahun 2016 dan 2019; lalu penangkapan dan kriminalisasi tanpa sebab kepada masyarakat adat serta para aktivis yang terjadi hingga kini; hasil sidang Jaksa Agung yang menyebutkan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dan sangat berbanding terbalik dengan pernyataan Komnas HAM; lalu proses pengesahan UU Minerba juga tidak melibatkan sedikitpun suara aspirasi dari rakyat kecil, dan berujung pada perusakan ekosistem lingkungan serta perbudakan bagi para pekerjanya.
Melihat dari segala kondisi sekarang, harapan dari lahirnya Pancasila guna mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia ternyata masih jauh di awang-awang. Itulah sebabnya penting bagi kita semua untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis dunia nyata. Dimulai dari diri sendiri dan khususnya membantu menyadarkan Pemerintah untuk selalu berpihak kepada rakyat serta tidak berlaku seenaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H