Mohon tunggu...
Beggysme Bertutur
Beggysme Bertutur Mohon Tunggu... -

pecinta Buku, penikmat Sepakbola, perancang Grafis, pelajar selamanya\r\n\r\nwww.beggysme.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wanita dalam Islam

1 Juni 2012   09:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas sudah bagaimana kedudukan wanita dalam Islam. Ditempatkan dalam kedudukan sejajar dengan pria. Memiliki kewajiban yang sama dihadapan Allah untuk berbuat kebaikan dan menolak kejahatan, dan kewajiban ibadah yang sama. Namun dalam menjalankan kewajiban tersebut Islam mengakomodasi keistimewaan pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan oleh Allah dengan kondisi fisik, emosi dan psikologis yang berbeda. Pria diciptakan dengan kondisi fisik yang lebih kuat, dan lebih berpikir mengutamakan logika. Hal ini untuk mengakomodir tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi keluarganya. Sedangkan wanita diciptakan dengan kondisi fisik yang tak sekuat pria, namun dengan hati yang sangat lembut dan lebih penyayang. Naluri ini membentuk naluri keibuan yang menjadi ciri istimewa seorang wanita. Kombinasi ketegasan pria dan kelembutan serta sifat penyayang wanita menjadi suatu sifat yang saling melengkapi. Sebuah rumah tangga yang terdiri dari dua sifat utama tadi akan menjadi rumah tangga yang sempurna dan lengkap. Yang pria dituntut untuk bekerja keras mencari kebutuhan keluarga, memimpin dan melindungi mereka. Yang wanita dituntut memelihara, membina mendidik anak di rumah tangganya yang menguras tenaga. Keduanya sama-sama berkorban.  Inilah yang diminta oleh Islam.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...(Qs. An-nisa : 34)

Islam telah menempatkan pria menjadi pemimpin bagi wanita. Bukan karena wanita lebih rendah kedudukannya, namun karena Allah memberi kelebihan tertentu kepada pria. Kelebihan fisik, kelebihan ketegasan namun juga diberi tanggung jawab yang lebih berat.  Secara naluriah pun pria dibentuk menjadi pemimpin. Ketika ada sekelompok orang tidak saling mengenal, terjebak dalam sebuah kapal yang karam, maka prialah yang mendahulukan wanita untuk selamat. Ketika ada rumah yang kemasukan perampok, maka anak laki-lakilah yang melindungi anggota keluarga yang lain. Ini bukan akbiat konstruk sosial seperti yang didengungkan para feminis. Pria harus bergerak ketika ada kejadian tadi karena memang dilebihkan oleh Allah, namun kelebihan itu pula harus mereka pertanggung jawabkan.

Begitu pula dalam rumah tangga. Pria menjadi pemimpin atas keluarganya, atas diri, anak dan istrinya. Sementara istri menjadi pemimpin atas rumah suaminya beserta istrinya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya." (Hadis Shahih riwayat Bukhari no. 4789)

Ketika Islam menempatkan pria sebagai pemimpin keluarga dan wanita sebagai pemelihara rumah tangga maka bukanlah berarti Islam merendahkan wanita. Melihat pria sebagai pemimpin keluarga (rumah tangga) jangan dilihat sebagai ketentuan Islam untuk melebihkan pria. Inilah yang banyak disalahpahami. Sering dianggap pemimpin rumah tangga itu sebagai kemewahan atau disamakan dengan jabatan. Kita harus melihat hal ini dari kacamata Islam. Kacamata yang menimbangkan dunia dan akhirat. Menjadi pemimpin berarti harus  berpikir keras memberikan keputusan yang terbaik bagi keluarganya. Harus mencarikan penghidupan yang terbaik yang halal dan mengarahkan bahtera keluarganya. Dan yang terpenting, bertanggung jawab atas keluarganya, tidak hanya di dunia, namun terlebih di akhirat nanti. Dan memikul beban dan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah nanti sungguh sangat berat. Itulah yang  sering luput dari pihak yang masih salah memahaminya.

Begitu pula dengan peran wanita sebagai pemelihara rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga bukan “pekerjaan” yang hina. Malah sebaliknya, sangat mulia dan tidak ternilai. Bayangkan, para ibu bekerja tanpa batasan waktu. Tanpa digaji. Namun buah yang mereka hasilkan akhirnya luar biasa. Tak bisa dipungkiri peran didikan ibu pada tokoh-tokoh sukses. Para ibu rumah tangga bukan saja menghasilkan pribadi, namun menghasilkan sebuah generasi yang luar biasa. Inilah pokok dari Islam. Islam tidak hanya berbicara mengenai membentuk pribadi yang bermanfaat, namun lebih dari itu menciptakan sebuah generasi, masyarakat yang bermanfaat. Dan untuk membentuk masyarakat yang bermanfaat dibutuhkan peran dari ibu-ibu rumah tangga yang luar biasa. Ibu rumah tangga ibarat tiang dalam sebuah rumah. Peran ini menuntut totalitas dari seorang ibu rumah tangga. Dan apabila seorang ibu rumah tangga membentuk anak-anak yang bermanfaat, bukankah ibu tersebut turut menerima ganjaran (pahala) yang diperoleh dari kebaikan yang dilakukan anak-anaknya? Inilah yang luput dari sebagian kita, ketika Islam memerintahkan sesuatu maka kita hanya mempertimbangkan aspek duniawinya saja, padahal ada aspek lebih penting, yaitu kebaikan yang diperoleh di akhirat

Keterangan diatas menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap wanita. Namun kesalahpahaman kerap kali terjadi ketika menemui beberapa tuntunan Islam yang berhubungan dengan memperlakukan wanita. Diantaranya yang kerap menjadi pertanyaan mengapa pembagian waris untuk wanita lebih sedikit daripada pria? Apakah ini semacam diskriminasi? Dan mengapa suami diizinkan memukul istri? Bukankah ini sejenis kekerasan dalam rumah tangga? Sebaiknya ketika membahas hal-hal seperti ini yang utama adalah melihat secara menyeluruh pandangan Islam terhadap wanita. Tidak melihatnya sebagian-sebagian. Termasuk ketika membicarakan hak waris bagi wanita.Hal itu dasarkan kepada ketentuan Allah dalam surat An Nisa,

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (QS An Nisa : 11)

Ayat ini memberikan ketentuan-kententuan waris secara umum dalam Islam. Ketika melihat ketentuan ini, baiknya kita kembali kepada konsep Islam mengenai pria dan wanita. Pria dituntut menjadi pencari nafkah dan pemberi mahar ketika menikah. Maka semua kebutuhan rumah tangga dibebankan kepadanya. Sedangkan wanita dalam hal ini menjadi tanggungan suaminya. Maka yang adil adalah bukan memberikan secara rata. Namun membagi sesuai porsinya.Bahkan jika ditelisik lebih lanjut ada kondisi-kondisi khusus dalam Islam yang menentukan bagian perempuan sama bahkan lebih besar daripada laki-laki. (6)

Tuntunan Islam lain sering disalahpahami adalah boleh suami untuk memukul istri. Ayat ini dituduh sebagai ayat pengesah KDRT. “Kewenangan” itu muncul dari sebuah ayat pada surat An nisa ayat 34

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun