Mohon tunggu...
Salsabila Wilhelmina
Salsabila Wilhelmina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2 SKSG Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia

Sak dermo nrimo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mendamaikan Kontroversi Tasawuf Tradisional Vs Tasawuf Modern

19 April 2023   04:47 Diperbarui: 19 April 2023   04:52 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tasawuf sebagai khazanah Islam pernah diprediksi akan tenggelam dalam hingar bingar modernitas dan perkembangan zaman oleh beberapa peneliti. Menjadi menarik ketika prediksi tersebut sama sekali tidak terbukti melihat praktik tasawuf di era sekarang justru bergerak ke arah sebaliknya yakni eksistensi.

Secara praktik konsep tasawuf sudah ada sejak era kenabian. Meski begitu banyak yang meragukan praktik tasawuf karena muncul sebagai suatu yang baru. Padahal sejatinya konsep tasawuf merupakan penafsiran lebih lanjut mengenai Ihsan seperti dalam hadis Nabi, juga pemaknaan lebih dalam ayat dalam surat Qaf ayat 16.

Dalam sejarahnya definisi tasawuf belum digunakan pada masa Nabi dan baru muncul sekitar abad ke 3 Hijriyah lewat Abu Hasyim Al-Kufi yang meletakkan kata al-shufi di belakang namanya. Para mutashawwif -sebutan untuk seseorang yang berkecimpung dan ahli dalam tasawuf- berbeda pendapat mengenai asal kata serta definisi tasawuf.

Ada yang berpendapat istilah tasawuf disandarkan kepada ahl al-shuffah, sebutan untuk mereka yang sering berdiam diri di masjid Nabawi dan memiliki karakteristik yang khas seperti zuhud, banyak beribadah dan menyendiri dari khalayak dan lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shafa' atau shafw yang menunjukkan makna suci dan murni.

Pendapat lain mengatakan tasawuf berasal dari atau barisan karena melihat praktiknya terdiri dari orang yang berbaris dan beribadah. Dan ada juga yang mengatakan tasawuf berasal dari atau bulu domba. 

Hal tersebut diasosiasikan dengan kebiasaan mereka yang bergelut dalam bidang tasawuf sering memakai baju dari bulu domba karen sikap kesederhanaan dan zuhudnya. Sedangkan secara istilah, tasawuf menurut Imam Junaid Al-Baghdadi ialah keluar dari setiap akhlak yang tercela dan masuk kepada setiap akhlak yang mulia.

Tasawuf tradisional VS klasik

1.  Tasawuf Tradisional

Istilah tasawuf tradisional maksudnya adalah memaknai tasawuf dari segi praktiknya yang masih mengacu pada praktik tasawuf klasik. Adapun tasawuf klasik sendiri merupakan ajaran tasawuf yang secara periodik dimulai dari abad 1 Hijriyah atau tahun 650 M hingga sebelum tahun 1800 Masehi.

Sepanjang masa itu praktik tasawuf masih kental dengan konsep asketis atau zuhud dan terpaku pada rangkaian maqamat juga ahwal yang sebenarnya hal itu berkaitan dengan pengalaman pribadi seseorang dalam menekuri jalan sufi.

Beberapa karakteristik tasawuf tradisional pada masa klasik adalah berafiliasi dengan tariqah, orientasi prakteknya bersifat individual dan tertutup, terdapat pengkultusan terhadap Mursyid, antar pribadi ada hierarki, dan fokus terhadap praktik ruhani.

Di masa klasik, awal perkembangan tasawuf tradisional masih seputar Baghdad. Kota yang mempelopori ajaran tasawuf karena berkenaan dengan kebiasaan buruk yang menimpa sebagian besar pemimpinnya. Namun sejak munculnya thariqah di abad ke 5 hijriyah, tasawuf mulai menyebar dari satu negara ke negara lain.

Di Indonesia sendiri corak tasawuf tradisional sangat berkaitan dengan Islamisasi. Pada abad ke 16-17 M ketika kerajaan Aceh berdiri sudah dihiasi dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Hamzah Fansuri (wahdatul wujud), Nuruddin al-Raniri (Rifa'iyah dan Qadariyah), Abdul Rauf al-Singkili (Syathoriyah).

Seperti halnya di Jawa terdapat wali songo, Syekh Mutamakkin, Syekh Nawawi Al-Bantani dan lainnya. Dalam sejarahnya tasawuf tradisional di Indonesia mempunyai peran penting dalam sosial masyarakat, diantaranya penyebaran Islam, perkembangan pendidikan, serta peran-peran politik seperti pengaruh kepemimpinan.

Ajaran tasawuf tradisional di awal Islamisasi banyak berkembang di pedesaan dan kaum marjinal dan rata-rata pengikutnya berusia lanjut. Namun di masa sekarang praktik tasawuf tradisional tidak hanya bergerak di pedesaan dan menyasar golongan usia matang. Karena berafiliasi dengan thariqah, praktik tasawuf tradisional di Indonesia dikenal dengan nama thoriqohan.

Mengikuti perkembangan zaman, praktik tasawuf tradisional di Indonesia pada masa sekarang tidak lagi memiliki karakter yang sama dengan tasawuf tradisional Islam di masa klasik.

Sekarang, fokus tasawuf tradisional yang berafiliasi dengan thariqah bahkan ditemukan di kota, melakukan kegiatan sosial, dan mempunyai peran dalam politik. Salah satu organisasi yang menghimpun praktik tasawuf tradisional dengan tariqah mu'tabarah adalah JATMAN atau Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyah.

2. Tasawuf Modern

a. Islam dan Modernisasi

Tasawuf modern lahir di tahun 1800 M an, beriringan dengan masuknya periodesasi sejarah Islam pada masa modern. Tasawuf Modern lahir sebagai bentuk kritik atas ajaran tasawuf tradisional yang berkembang pada era tersebut.

Sebelum membahas mengenai tasawuf modern, akan lebih runut jika kita membincang sedikit mengenai modern secara bahasa dan sejarahnya dalam Islam. Jika menilik kata "modern", sebenarnya ia berasal dari kata Latin modernus yang artinya "baru saja".

Selanjutnya pengertian modern bukan hanya merujuk kepada "era" tapi juga merujuk kepada "pola berfikir dan cara bertindak". Sedangkan makna modernisasi berarti proses pembaruan dalam pola berfikir dan cara bertindak.

Menurut sejarahnya, Islam mengalami kemunduran setelah gemerlap sejarah Ottoman diberangus pasukan Mongol. Era tersebut dijuluki dengan zaman kegelapan karena sejumlah buku dan perpustakaan dibakar habis serta ekonomi dan politik memburuk. Bersamaan dengan itu, Barat justru dalam sisi yang lain yakni mengalami kebangkitan.

Keadaan yang demikian menggugah beberapa cendekiawan muslim untuk mengejar ketertinggalan serta memulihkan kembali kekuatan Islam dengan dua cara yakni pemurnian ajaran Islam dari hal yang dianggap sebagai penyebab kemunduran dan gagasan untuk menimba ilmu pengetahuan dari Barat.

Para cendekiawan muslim penggagas gerakan modernisasi salah satunya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha memandang bahwa penyebab kemunduran umat muslim salah satunya adalah karena praktik tasawuf tradisional. Singkatnya ada beberapa poin dialamatkan kepada tasawuf atas implikasi gerakan modernisasi;

1. Kritik terhadap tasawuf bahwa sufisme adalah bentuk pelanggaran terhadap syari'at karena mulai tercampur dengan takhayul, bid'ah, dan khurafat.

2. Kemunduran Islam karena para cendekiawan muslim mulai menekuri jalan sufi dan mengasingkan diri dari kehidupan dunia, sehingga tidak memberi kontribusi nyata.

3. Ajaran thariqah serta prakteknya dianggap tidak rasional, karena mengkultuskan mursyid. Berikut juga adanya taklid buta dan percaya begitu saja apa yang perintahkan mursyid.

4. Lahirnya neo sufisme/tasawuf modern sebagai reaksi atas hal tersebut.

 

b. Corak tasawuf baru

Gerakan modernisasi Islam menghadirkan corak tasawuf baru yang dikenal dengan neo sufisme seperti gagasan Fazlur Rahman, atau tasawuf modern seperti gagasan Buya Hamka. Menurut Azyumardi Azra terdapat lima karakteristik dalam corak tasawuf ini yaitu telaah hadits terhadap hadits yang sering dijadikan landasan para sufi dalam praktiknya, pemurnian syari'at, aktivisme sebagai kritik dari interaksi dan peran sosial pasif pada masa sebelumnya, organisasi tarekat dan kesinambungan serta perubahan.

 

Istilah neo-sufisme terdiri dari dua kata neo dan sufisme. Neo berarti sesuatu yang baru atau yang diperbaharui. Adapun sufisme adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan praktik serta gerakan sufi dalam Islam. Dengan demikian neo-sufisme dapat diartikan bentuk baru sufisme atau pembaruan sufisme dalam Islam. Menurut Fazlurrahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme adalah suatu praktik sufisme yang formulasinya telah diperbaharui.

 

Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Neo-Sufisme yang diusung Fazlur Rahman adalah tasawuf yang telah diperbarui, yang dikuliti dari kandungan asketis dan metafisikanya dan digantikan dengan kandungan dari Islam secara murni. Karakter tasawuf ini adalah puritan dan aktivis. Fazlur Rahman menganggap akar dari tasawuf ini adalah pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu qayyim yang dengan gigih menentang tasawuf yang menyimpang karena bercampur dengan mistisisme dan falsafi yang mengarah ke praktik khurafat dan takhayul.

 

Sedangkan menurut Tasawuf Modern Hamka, dalam bukunya dijelaskan bahwa tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar. Tasawuf bisa saja bercampur antara ajaran yang dari Allah dengan yang dilarang Allah karena tidak sadar. Hamka kemudian mengkritik bagian itu. Tasawuf modern Hamka dibangun atas dasar tauhid dan dengan landasan wahyu, Qur'an dan hadits. Berbeda halnya dengan tasawuf klasik yang lebih condong mengutamakan irfani, tasawuf modern Hamka lebih banyak memaparkan tentang pembersihan hati dan pembentukan akhlak mulia.

 

Tasawuf modern merupakan representasi tasawuf berbasis syariah, tetapi tidak lagi memiliki pengaruh masa lalu, dan penganutnya secara sosial tidak marjinal. Karakter lain tasawuf ini adalah kemampuan tasawuf untuk beradaptasi dengan lingkungan modern, akomodatif terhadap rezim baru dan mempunyai peran sosial juga politik, tidak terikat dengan sistem klasik seperti tariqah, dan yang diposisikan sebagai syekh tarekat adalah Nabi Muhammad, bukan para awliya atau pendiri-pendiri tarekat yang kemudian dijadikan sebagai teladan dalam kegiatan berfikir, berdzikir dan suri tauladan dalam hal apapun.

Mendamaikan Keduanya

Tuduhan pada masa modernisasi mengenai tasawuf berasal dari Muhammad Abdul wahab yang menghendaki purifikasi ajaran Islam. Pada saat itu tidak semua ajaran tasawuf klasik menyimpang syariat. Begitupun tuduhan tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh, dia menyamaratakan fenomena yang terjadi di mesir kala itu dengan semua sufisme di negara lain. Nyatanya para sufi beserta gerakannya membawa sumbangsih besar dalam menyebarkan Islam, bahkan membantu kemerdekaan kolonialisme di beberapa negara seperti Maroko, Nigeria dan Libya.

Para syaikh yang disebut pendiri tarekat bukanlah pencipta atau penambah ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kedudukan mereka hanya sebagai pengejawantah ajaran Islam dengan membentuk suatu komunitas tertentu dan memberi metode sebagai media ajar. Sebenarnya, ajaran dasar tarekat tetap berasal dari Nabi seperti zikir, zuhud, tawakal dan bentuk ajaran lainnya. Begitupun mursyid, kedudukan mereka adalah sebagaimana guru. Penghormatan para pengikut thariqah kepada mursyid layaknya penghormatan murid kepada guru dan bukan memuja sebagai tokoh suci setara Nabi.

Zuhud sendiri tidak selalu berarti meninggalkan dunia. Abu Sulaiman al-Darani mengungkapkan makna substantifnya, yaitu zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang mengalihkan perhatian pada Allah. Dewasa ini praktik zuhud tidak dimaknai sebagai anti dunia dengan bersikap eksklusif. Zuhud pada masa sekarang dimaknai dengan tidak adanya keterpautan hati dengan dunia namun juga bersifat integratif dan inklusif. Yakni mempunyai interaksi sosial yang baik sehingga praktik zuhud-nya benar-benar fungsional dan mampu menjawab problem modernitas yang dirasakan semakin rumit ini.

Tariqah sebenarnya adalah suatu jalan kecil. Apa yang dilakukan oleh penekur jalan sufi sebenarnya sedang menekuri salah satu jalan dari berbagai macam jalan Allah. Begitupun macam-macam tasawuf lainnya. Semuanya adalah jalan menuju jalan Allah. Bahkan pengalaman kasyaf yang berkaitan dengan tasawuf falsafi yang sering menjadi sasaran empuk, sebenarnya adalah pengalaman batin yang privasi dan tidak dapat dipahami oleh semua orang.

Referensi

Azra, Azyumardi. (1998) Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

Huda, Sokhi. "Karakter Historis Sufisme Pada Masa Klasik, Modern, Dan Kontemporer". Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 7, no. 1 (June 2, 2017): 64--95. Accessed February 26, 2023. http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/view/166.

Hamka. (2015). Tasawuf Modern. Jakarta; Republika Penerbit. Nasr, Seyyed Hossein. (2020). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Diva Press.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973

Naysaburi (al), 'Abd. al-Karim b. Hawazin Al-Qushayri. al-Risalah al-Qushayriyah Fi 'Ilm al-Tasawwuf. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Taftazani (al), Abu al-Wafa. Madkhal ila Tasawwuf al-Islami. Mesir: Dar al-Tsaqafah al-Qahirah, 1970.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun