Mohon tunggu...
Salsabila Wilhelmina
Salsabila Wilhelmina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2 SKSG Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia

Sak dermo nrimo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mendamaikan Kontroversi Tasawuf Tradisional Vs Tasawuf Modern

19 April 2023   04:47 Diperbarui: 19 April 2023   04:52 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah neo-sufisme terdiri dari dua kata neo dan sufisme. Neo berarti sesuatu yang baru atau yang diperbaharui. Adapun sufisme adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan praktik serta gerakan sufi dalam Islam. Dengan demikian neo-sufisme dapat diartikan bentuk baru sufisme atau pembaruan sufisme dalam Islam. Menurut Fazlurrahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme adalah suatu praktik sufisme yang formulasinya telah diperbaharui.

 

Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Neo-Sufisme yang diusung Fazlur Rahman adalah tasawuf yang telah diperbarui, yang dikuliti dari kandungan asketis dan metafisikanya dan digantikan dengan kandungan dari Islam secara murni. Karakter tasawuf ini adalah puritan dan aktivis. Fazlur Rahman menganggap akar dari tasawuf ini adalah pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu qayyim yang dengan gigih menentang tasawuf yang menyimpang karena bercampur dengan mistisisme dan falsafi yang mengarah ke praktik khurafat dan takhayul.

 

Sedangkan menurut Tasawuf Modern Hamka, dalam bukunya dijelaskan bahwa tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar. Tasawuf bisa saja bercampur antara ajaran yang dari Allah dengan yang dilarang Allah karena tidak sadar. Hamka kemudian mengkritik bagian itu. Tasawuf modern Hamka dibangun atas dasar tauhid dan dengan landasan wahyu, Qur'an dan hadits. Berbeda halnya dengan tasawuf klasik yang lebih condong mengutamakan irfani, tasawuf modern Hamka lebih banyak memaparkan tentang pembersihan hati dan pembentukan akhlak mulia.

 

Tasawuf modern merupakan representasi tasawuf berbasis syariah, tetapi tidak lagi memiliki pengaruh masa lalu, dan penganutnya secara sosial tidak marjinal. Karakter lain tasawuf ini adalah kemampuan tasawuf untuk beradaptasi dengan lingkungan modern, akomodatif terhadap rezim baru dan mempunyai peran sosial juga politik, tidak terikat dengan sistem klasik seperti tariqah, dan yang diposisikan sebagai syekh tarekat adalah Nabi Muhammad, bukan para awliya atau pendiri-pendiri tarekat yang kemudian dijadikan sebagai teladan dalam kegiatan berfikir, berdzikir dan suri tauladan dalam hal apapun.

Mendamaikan Keduanya

Tuduhan pada masa modernisasi mengenai tasawuf berasal dari Muhammad Abdul wahab yang menghendaki purifikasi ajaran Islam. Pada saat itu tidak semua ajaran tasawuf klasik menyimpang syariat. Begitupun tuduhan tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh, dia menyamaratakan fenomena yang terjadi di mesir kala itu dengan semua sufisme di negara lain. Nyatanya para sufi beserta gerakannya membawa sumbangsih besar dalam menyebarkan Islam, bahkan membantu kemerdekaan kolonialisme di beberapa negara seperti Maroko, Nigeria dan Libya.

Para syaikh yang disebut pendiri tarekat bukanlah pencipta atau penambah ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kedudukan mereka hanya sebagai pengejawantah ajaran Islam dengan membentuk suatu komunitas tertentu dan memberi metode sebagai media ajar. Sebenarnya, ajaran dasar tarekat tetap berasal dari Nabi seperti zikir, zuhud, tawakal dan bentuk ajaran lainnya. Begitupun mursyid, kedudukan mereka adalah sebagaimana guru. Penghormatan para pengikut thariqah kepada mursyid layaknya penghormatan murid kepada guru dan bukan memuja sebagai tokoh suci setara Nabi.

Zuhud sendiri tidak selalu berarti meninggalkan dunia. Abu Sulaiman al-Darani mengungkapkan makna substantifnya, yaitu zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang mengalihkan perhatian pada Allah. Dewasa ini praktik zuhud tidak dimaknai sebagai anti dunia dengan bersikap eksklusif. Zuhud pada masa sekarang dimaknai dengan tidak adanya keterpautan hati dengan dunia namun juga bersifat integratif dan inklusif. Yakni mempunyai interaksi sosial yang baik sehingga praktik zuhud-nya benar-benar fungsional dan mampu menjawab problem modernitas yang dirasakan semakin rumit ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun