Bedjo Slamet, No. (tidak berharap)
Di sela pepohonan gosong yang masih memancarkan panas sisa kebakaran, di salah satu sudut yang tidak begitu luas, secuil area yang masih bisa mereka selamatkan dari kobaran api yang menggila, para penghuni rimba tengah berkumpul.
Dipimpin Kura-kura tua dengan suara dalam, mencoba mengatasi hiruk pikuk dari aneka warganya.
“kita laporkan saja pada Baginda raja”, ujar Badak
“Percuma, Baginda Harimau berada jauh diseberang pulau”, kata Burung
“kita sewa pasukan negeri tetangga saja”, celetuk Monyet
“Aku nanti yang akan membiyayai”, imbuhnya pongah
“hu u u.... hu u u...”, teriakan dan gerutuan warga berbaur mejadi satu
Dahulu warga hutan termasuk monyet hanya membakar seperlunya saja, sekedar untuk bisa menanam tanaman yang menjadi kebutuhan pokok mereka. Namun Monyet tak cukup dengan rumpun pisang yang sudah dimiliki, dengan rakus membuka lahan lebih luas lagi.
“Lantas kalian mau apa”, sergah Monyet tanpa merasa bersalah
“Cukup...”, pinta Kura-kura mencoba menengahi
“Saling menyalahkan tak akan membuat api padam di rimba kita”
“Kemarau tahun ini memang lebih panjang dari sebelumnya, mungkin hanya turunnya hujan yang bisa memadamkan kebakaran hebat ini”, kata Kura-kura
“Lantas bagaimana cara mendatangkan hujan yang memang belum musimnya?”, tanya Gajah
“Di Timur ada satu tempat dimana masih ada rawa dengan sisa-sisa air yang menggenang, di sana tinggal si Katak pemanggil hujan”
“Bawalah Katak itu kesini untuk memanggil hujan, itu satu-satunya harapan kita sebelum seluruh rimba musnah terbakar”, lanjut Kura-kura
Monyet langsung menyeringai culas, “Aku yang akan berangkat, akan kubiayai semua perjalan ini”. Dengan cepat otaknya berputar, hujan akan menyelamatkan sisa-sisa pokok pisangnya yang siap panen satu bulan lagi.
Kura-kura dan seluruh warga mengangguk setuju.
-------------
Setelah lama berputar, dari satu rawa ke rawa yang lain, dari satu genangan air ke genangan air lainya, akhirnya bertemu juga dengan sang Katak.
“Apa yang kau inginkan?”, tanya Katak
“Aku ingin minta pertolonganmu, berapapun biayanya akan kupenuhi”, kata Monyet
“Pertolongan apa?”, Katak minta penjelasan
“Minta tolong memanggilkan hujan, agar kebakaran rimba kami cepat padam”, jawab Monyet
“Baiklah, aku tidak minta imbalan apapun hanya saja suaraku saat ini serak, asap telah membuat tenggorokannku mengering”, jelas Katak
“Lantas bagaimana ini?”, seru Monyet sedikit panik
“Ambilkan aku air dari lubuk di sungai sebelah Utara rawa, air disitu mengandung akar yang bisa menyembuhkan serakku dengan cepat”, kata Katak
Dengan menyusuri sungai yang mengering sampailah Monyet di lubuk yang dimaksud, tengah dijaga kawanan Buaya.
“Mau apa kau”, bentak Buaya yang kelaparan
“Ijinkan aku mengambil sedikit air di lubukmu itu”, pinta Monyet
“Boleh, asal kaubawakan aku daging untuk makanan wargaku terlebih dahulu”, kata Buaya
“Ada kawanan Kerbau di padang rumput atas sana, kau bisa mendapatkanya”. Tambah Buaya
Berangkatlah Monyet ke padang rumput tersebut, disana banyak Kerbau liar keleleran dan kelaparan. Padang rumput itu semakin mengering, tidak banyak lagi rumput yang bisa dimakan.
“Bisakah kuminta dagingmu wahai Kerbau, biarkan kubawa seekor Kerbau yang telah mati di pojok sana”, pinta Monyet dengan wajah memelas.
“Untuk apa kau bawa daging Kerbau, bukankah engkau pemakan buah?”, tanya Kerbau
“Untuk kupersembahkan pada Buaya agar aku bisa memperoleh air di lubuknya, air yang dibutuhkan Katak untuk memanggil hujan”, jelas si Monyet
“Baiklah, boleh kau bawa daging itu, hanya saja aku minta satu syarat, bikinkan jembatan untuk menyeberang ke padang rumput di sebelah jurang sana”.
“Uruk jurang itu supaya kawanan kami bisa lewat tanpa harus memutar, kawanan kami banyak yang kelaparan tak bakal mampu mencapai padang rumput diseberang bila mesti berjalan memutar”, jelas Kerbau
Monyet memutar otak dan menghitung ulang, yang ia punya hanyalah pohon-pohon pisang di kebunnya yang luas. Ribuan pohon pisangnya bila dimasukkan ke jurang tersebut bisa saja menjadi jembatan seperti yang diminta Kerbau.
“Tak apa, kukorbankan dulu pohon pisang itu” batin Monyet, “biarlah amarah warga dan para tetua mereda terlebih dahulu. Bila namaku baik, musim depan aku pasti akan diperbolehkan menanam pisang lagi.”
Maka dipanggilah kawanan Monyet, bersama-sama mereka menaruh pohon pisang dijurang hingga bisa menjadi jembatan penghubung antara padang rumput disini dan di seberang sana. Tak banyak pohon pisang yang tersisa, tinggal serumpun seperti biasa mereka dapatkan.
Jembatan pisang telah selesai, kawanan Kerbaupun satu persatu pergi menyeberang, yang mati kelaparan ditinggalkan di padang.
“Trimakasih, amblilah daging yang kau butuhkan.” kata Kerbau pada Monyet
Bergotong royong kawanan Monyet membawa bangkai Kerbau ketempat Buaya, disana Monyet mendapatkan air yang dibutuhkan Katak.
“Katak!! ini air yang kau minta tadi” teriak Monyet di kubangan tempat Katak tinggal
Sepi, tidak ada jawaban.
“Katak!”
.......
“Katak!”
......
Kresek..... Kresek..... terdengar suara di rerumputan dekat rawa. Monyet mendekat kearah suara itu, disibak perlahan rumput yang menghalangi pandangannya.
Ada ular melingkar disana, tengah tertidur pulas dengan perut membesar.
.......
-------
Untuk membaca karya peserta lain silakan meluncur ke akun Fiksiana Community
Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H