Mohon tunggu...
Suyanti
Suyanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

terus belajar dan masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dandelion (1)

30 Juli 2018   15:32 Diperbarui: 30 Juli 2018   15:34 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuberi nama Dandelion 1. Karena Dandelion 1 berisi tentang bagaimana aku mengenal dan menjadi temannya.

Malang kembali menampakkan wujud aslinya. Dingin menyapa sepanjang pagi dan malam. Bahkan, kabut pun sering turun saat matahari tak begitu bersahabat. Dingin ini membuatku ingat dua tahun lalu. Sedikit bergerak ke arah atas bumi katulistiwa, menyapa negara kepulauan pasifik. 

Rasa dingin yang sama di awal musim gugur. Dingin ini pun tak membuat dandelion lelah menghadap matahari. Entahlah, sudah berapa lama aku sangat tertarik pada bunga rumput ini. 

Bahkan, aku rela untuk bermenit-menit menghabiskan waktuku bersamanya. Bukan berarti bunga lain tak istimewa. Akan tetapi, bunga ini membuatku tertarik saja, ya seperti aku tertarik untuk minum kopi setiap pagi.

Masih kuingat guru Tsuchiya memberiku pesan sederhana dari filosofi ini. Sambil bergurau pastinya, karena itu ciri khasnya. 

Ia bilang manusia itu terhubung oleh rantai. Rantai itu saling menyambung entah terlihat atau tidak. Sama seperti Dandelion, dia menerbangkan biji nya sesukanya. Ikut arah angin saja. Atau lari bersama air hujan bahkan menempel di bajuku pun ia bisa hidup.

Kuberi nama Dandelion 1. Karena Dandelion 1 berisi tentang bagaimana aku mengenal dan menjadi temannya.
Kuberi nama Dandelion 1. Karena Dandelion 1 berisi tentang bagaimana aku mengenal dan menjadi temannya.
Guru Tsuchiya terkekeh bercerita tentang dandelion. Itu sebabnya Ia berpikir akan lebih baik kalau Ia memberiku buket dandelion daripada buket mawar untuk kelulusanku nanti. Sayang, tak ada yang menjual buket dandelion. Bukan karena tak bernilai jual, tapi usianya pendek dan bukan tipe bunga potong.

Aku tak bisa menemukan bunga itu di kota ini. Tetapi saudara-saudara sebangsanya selalu saja membuat mataku dan kamera poket sederhanaku menghampirinya. 

Sama daunnya tapi beda kelopaknya. Tetap istimewa meski hanya menjadi bunga rumput. Mulai yang biasa dironce anak-anak untuk bunga rambut hingga yang hidup bertetangga dengan ilalang di rumah-rumah yang dibiarkan kosong.

Kuberi nama Dandelion 1. Karena Dandelion 1 berisi tentang bagaimana aku mengenal dan menjadi temannya.
Kuberi nama Dandelion 1. Karena Dandelion 1 berisi tentang bagaimana aku mengenal dan menjadi temannya.
Oh iya, jadi aku sudah mengenal bunga ini jauh sebelum aku mengenal dandelion di rerumputan hijau sungai zakai nun jauh di negeri Jepang sana. Aku biasa meroncenya menjadi hiasan rambut saat bermain menjadi putri-putri seperti di komik-komik Candy. 

Setiap kuletakkan bunga itu dirambutku berasa aku memakai mahkota bunga seperti putri-putri kerajaan Eropa dan itu gratis. Dulu aku Cukup mencarinya di rerumputan DAS sungai. 

Kebahagiaan itu sekarang sudah susah kutemukan karena sudah menjadi barang langka. DAS sungai pun sudah banyak jadi pemukiman dan efisiensi pertanian.

Begitu pula dengan Bapak yang juga tidak memberi tempat luas untuk keluarga dandelion kecil ini. Alasannya sederhana, lebih baik untuk menanam sawi. Logis dan bisa kuterima.

Namun, bila kulihat hamparan dandelion di tepi sungai zakai. Alasan Bapak menanam sawi di tepi sungai yang berbatasan dengan areal sawah Bapak pun tak bisa kuterima logikanya.

Adakalanya beramah tamah pada alam dan meluangkan waktu serta tempat untuk bunga-bunga rumput itu tumbuh dan berkembang adalah suatu bentuk penghargaan pada diri sendiri dan lingkungan. Sementara Bapakku berpikir lebih ekonomis dan praktis. 

Tak ada yang salah antara pemikiranku dan Bapak. Entah, apakah kelak akan kujumpai juga Banyak Dandelion atau keluarganya di Tepi-tepi sungai, di taman-taman atau sekedar tumbuh di sekitar pekarangan, dan tepian jalan. Sehingga, akan ada banyak cerita tentang Dandelion dan keluarga besarnya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun