Malang kembali menampakkan wujud aslinya. Dingin menyapa sepanjang pagi dan malam. Bahkan, kabut pun sering turun saat matahari tak begitu bersahabat. Dingin ini membuatku ingat dua tahun lalu. Sedikit bergerak ke arah atas bumi katulistiwa, menyapa negara kepulauan pasifik.Â
Rasa dingin yang sama di awal musim gugur. Dingin ini pun tak membuat dandelion lelah menghadap matahari. Entahlah, sudah berapa lama aku sangat tertarik pada bunga rumput ini.Â
Bahkan, aku rela untuk bermenit-menit menghabiskan waktuku bersamanya. Bukan berarti bunga lain tak istimewa. Akan tetapi, bunga ini membuatku tertarik saja, ya seperti aku tertarik untuk minum kopi setiap pagi.
Masih kuingat guru Tsuchiya memberiku pesan sederhana dari filosofi ini. Sambil bergurau pastinya, karena itu ciri khasnya.Â
Ia bilang manusia itu terhubung oleh rantai. Rantai itu saling menyambung entah terlihat atau tidak. Sama seperti Dandelion, dia menerbangkan biji nya sesukanya. Ikut arah angin saja. Atau lari bersama air hujan bahkan menempel di bajuku pun ia bisa hidup.
Aku tak bisa menemukan bunga itu di kota ini. Tetapi saudara-saudara sebangsanya selalu saja membuat mataku dan kamera poket sederhanaku menghampirinya.Â
Sama daunnya tapi beda kelopaknya. Tetap istimewa meski hanya menjadi bunga rumput. Mulai yang biasa dironce anak-anak untuk bunga rambut hingga yang hidup bertetangga dengan ilalang di rumah-rumah yang dibiarkan kosong.
Setiap kuletakkan bunga itu dirambutku berasa aku memakai mahkota bunga seperti putri-putri kerajaan Eropa dan itu gratis. Dulu aku Cukup mencarinya di rerumputan DAS sungai.Â
Kebahagiaan itu sekarang sudah susah kutemukan karena sudah menjadi barang langka. DAS sungai pun sudah banyak jadi pemukiman dan efisiensi pertanian.
Begitu pula dengan Bapak yang juga tidak memberi tempat luas untuk keluarga dandelion kecil ini. Alasannya sederhana, lebih baik untuk menanam sawi. Logis dan bisa kuterima.
Namun, bila kulihat hamparan dandelion di tepi sungai zakai. Alasan Bapak menanam sawi di tepi sungai yang berbatasan dengan areal sawah Bapak pun tak bisa kuterima logikanya.
Adakalanya beramah tamah pada alam dan meluangkan waktu serta tempat untuk bunga-bunga rumput itu tumbuh dan berkembang adalah suatu bentuk penghargaan pada diri sendiri dan lingkungan. Sementara Bapakku berpikir lebih ekonomis dan praktis.Â
Tak ada yang salah antara pemikiranku dan Bapak. Entah, apakah kelak akan kujumpai juga Banyak Dandelion atau keluarganya di Tepi-tepi sungai, di taman-taman atau sekedar tumbuh di sekitar pekarangan, dan tepian jalan. Sehingga, akan ada banyak cerita tentang Dandelion dan keluarga besarnya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H