Jadi, bisa disimpulkan dari definisi tersebut di atas, ciri-ciri dari sebuah proses pencucian otak antara lain:
- Penanaman suatu gagasan, sikap, sistem nilai atau kepercayaan tertentu
- Penanaman ini dilakukan melalui proses indoktrinasi
- Proses indoktrinasi: dilakukan satu arah, tidak membuka ruang pengujian/kritisisme
Suatu proses transfer konsep yang menekankan pada analisis ilmu pengetahuan tidak bisa disebut sebagai proses indoktrinasi, karena dalam analisis ilmu pengetahuan baik subyek maupun obyek dituntut untuk mampu mempertanggungjawabkan secara rasional maupun empiris, mengedepankan analisis validitas dan reliabilitas data yang disampaikan, dan sejenisnya.
Sehingga, TIDAK SEMUA PROSES PENANAMAN GAGASAN, SIKAP, SISTEM NILAI ADALAH SAMA DENGAN PROSES PENCUCIAN OTAK. Substansi dari pencucian otak, berdasarkan definisi tersebut, BUKAN PADA ISI KONSEP YANG DIBAWA, melainkan pada mekanisme transfer informasinya.
Sebenarnya, dalam definisinya sendiri, serta dalam beberapa aplikasi di bidang psikologi, brainwashing tidak selalu bermakna negatif. Dalam fungsionalisasi tertentu proses ini juga dianggap bisa membantu menangani beberapa masalah psikologis. Namun pencucian otak yang kita bahas di sini khususnya adalah yang dianggap memiliki nilai negatif.
Kajian Keagamaan: Apakah Termasuk Pencucian Otak?
Kajian keagamaan yang ada di masyarakat memiliki konsep, teknis, hingga kemasan yang bermacam ragam. Hal ini sangat tergantung dari azas dasar yang dibawa oleh masing-masing kelompok keagamaan. NU, misalnya, menggunakan model kajian keagamaan klasikal yang disampaikan oleh seorang ustadz/ustadzah secara satu arah, dengan disertai banyak kutipan ayat dan hadist, serta tidak diiringi dengan sesi tanya jawab. Sedangkan Yayasan Paramadina, misalnya, menggunakan model kajian keagamaan seperti layaknya seminar, dengan mengundang pembicara yang menyampaikan gagasannya kemudian ada sesi tanya jawab yang dipandu oleh seorang moderator.
Berpijak dari definisi pencucian otak seperti yang telah dibahas di atas, maka tidak semua kajian keagamaan merupakan ajang pencucian otak. Ini tergantung dari mekanisme penyampaian gagasan yang digunakan. Jika penyampaian gagasannya menggunakan cara indoktrinasi, satu arah, tidak membuka ruang pengujian/kritisisme, mengedepankan klaim, membanjiri dengan fakta atau opini yang masih belum pasti kebenarannya, maka kajian yang seperti ini disebut sebagai kajian yang melakukan pencucian otak.
Sedangkan bagi kajian-kajian keagamaan yang mengedepankan pada analisis ilmu pengetahuan, pengujian data dan fakta, penggunaan teori-teori yang telah melalui pertanggung jawaban, proses evaluasi diri yang kritis, serta tidak menggunakan klaim-klaim sepihak, maka kajian yang semacam ini JAUH DARI KATEGORI PENCUCIAN OTAK.
Jika kajian keagamaan seperti yang disebut terakhir ini disebut sebagai pencucian otak, maka sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan-perguruan tinggi Islam semuanya bisa disimpulkan sedang melakukan dan melestarikan upaya pencucian otak. Karena mereka membangun dan menanamkan gagasan, nilai serta sistem kepercayaan, baik menggunakan pendasaran ilmu pengetahuan maupun tidak. Jika pengkajian keagamaan semacam ini disebut pencucian otak, bisa kita bayangkan betapa banyaknya institusi-institusi pencucian otak di Indonesia, dan SEMUANYA DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH.
Oleh karenanya, pembedaan antara kajian yang menggunakan proses pencucian otak atau tidak sangat mudah untuk diidentifikasi, bahkan oleh masyarakat yang awam sekalipun.
Eksploitasi Isu Di Media: Suatu Proses Pencucian Otak?