Mohon tunggu...
Benny Dwika Leonanda
Benny Dwika Leonanda Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas Padang

Insinyur STRI No.2.09.17.1.2.00000338 Associate Professor at Andalas University

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengubah Tatatanan Dunia: Rusia vs Amerika Serikat (Barat)

21 Mei 2024   21:19 Diperbarui: 21 Mei 2024   21:19 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca-Perang Dingin, tatanan dunia yang didominasi oleh kekuatan Barat mengalami tantangan signifikan seiring munculnya pusat-pusat kekuasaan baru. Sejak runtuhnya Uni Soviet, Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya memegang kendali atas banyak aspek politik, ekonomi, dan keamanan global. Namun, dominasi ini tidak berjalan tanpa perlawanan. Rusia, sebagai penerus utama Uni Soviet, mulai menentang ekspansi pengaruh Barat, khususnya melalui ekspansi NATO ke Eropa Timur yang dianggap mengancam kepentingan strategisnya. Ketegangan ini akhirnya memuncak dalam konflik seperti perang Rusia-Ukraina yang saat ini menjadi salah satu isu geopolitik paling krusial.

Ekspansi NATO ke Eropa Timur: Titik Kritis Hubungan Rusia-Barat

Langkah ini dipandang oleh Rusia sebagai upaya mengisolasi dan melemahkan pengaruhnya di kawasan yang secara historis dan geopolitik dianggap sebagai lingkup pengaruhnya. Penambahan anggota NATO dari negara-negara bekas Blok Timur memperdalam rasa ketidakpercayaan dan antagonisme Rusia terhadap Barat. Rusia merespons dengan kebijakan luar negeri yang lebih tegas dan sering kali konfrontatif, seperti yang terlihat dalam aneksasi Crimea pada tahun 2014 dan dukungan terhadap separatis di Ukraina Timur. Konflik ini menggambarkan pergeseran keseimbangan kekuasaan global dan menandakan bahwa dominasi Barat tidak lagi tak tertandingi.

Pergeseran geopolitik ini berdampak luas pada tatanan dunia dan hubungan internasional. Konstelasi kekuasaan yang lebih multipolar membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk memainkan peran yang lebih signifikan, namun juga menimbulkan risiko ketidakstabilan dan konflik baru. 

Dalam konteks ini, studi tentang perubahan tatanan dunia menjadi semakin relevan, baik untuk memahami dinamika kekuasaan global maupun untuk merumuskan strategi kebijakan yang adaptif dan berkelanjutan. Tulisan ini akan mengeksplorasi berbagai aspek dari perubahan ini, menganalisis implikasi geopolitiknya, dan mengkaji bagaimana negara-negara serta organisasi internasional merespons tantangan-tantangan yang ada.

Tatanan dunia yang dipimpin Barat pasca-Perang Dingin

Tatanan dunia yang dipimpin Barat pasca-Perang Dingin ditantang oleh munculnya pusat-pusat kekuasaan dan isu-isu baru. Pergeseran ini berdampak pada geopolitik dan hubungan internasional. Era pasca-Perang Dingin kita telah menyaksikan perubahan signifikan dalam struktur kekuasaan global, menantang tatanan dunia yang dipimpin oleh Barat yang telah mendominasi sejak akhir Perang Dunia II. Beberapa faktor dan munculnya pusat-pusat kekuasaan membentuk kembali lanskap geopolitik dan hubungan internasional.

Perang Dingin merupakan periode ketegangan dan persaingan ideologis, politik, ekonomi, dan militer antara dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (USSR), beserta sekutu-sekutu mereka masing-masing. Perang ini berlangsung dari akhir Perang Dunia II pada tahun 1947 hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Meskipun disebut "perang," konflik ini tidak pernah meletus menjadi perang bersenjata secara langsung antara kedua negara, tetapi ditandai dengan berbagai proxy wars, perlombaan senjata, dan persaingan ideologi.

Terdapat beberapa aspek-aspek perang dingin terhadap kehidupan dan geopolitik, di mana terbentuk nya blok Barat dan blok timur, dunia terbagi menjadi dua blok ideologi utama, kapitalisme dan demokrasi liberal yang dipimpin oleh AS, dan komunisme yang dipimpin oleh Uni Soviet. Masing-masing blok membentuk aliansi atau Persekutuan militer dan ekonomi, di mana terbentuknya NATO (North Atlantic Treaty Organization) di Barat dan Pakta Warsawa di Timur mengkristalisasi persaingan ideologis ini.

Ancaman perang, dan trauma Perang Dunia I dan II memicu perlombaan  militer dan keamanan. Kedua kekuatan besar terlibat dalam perlombaan senjata nuklir, dengan setiap pihak berusaha untuk mengembangkan persenjataan yang lebih canggih dan mematikan. Misalnya, krisis Rudal Kuba tahun 1962 hampir membawa dunia pada ambang perang nuklir.

Perlombaan senjata pada masa Perang Dingin sangat mendorong perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kompetisi ini mempercepat inovasi di berbagai bidang, termasuk elektronik, komputer, dan material sains. Seperti halnya penelitian untuk membuat rudal dan pesawat lebih cepat dan efisien mempercepat perkembangan komputer dan mikroprosesor. Perlombaan luar angkasa, yang juga bagian dari persaingan ini, memicu terobosan dalam teknologi satelit, komunikasi, dan navigasi. Hasilnya, banyak teknologi yang yang telah digunakan sehari-hari, seperti internet dan GPS, berakar dari inovasi yang dikembangkan selama periode ini.

Proxy Wars

Perang Dingin membentuk Proxy Wars dengan memicu konflik bersenjata di negara-negara ketiga, di mana AS dan Uni Soviet mendukung pihak yang berlawanan untuk memperluas pengaruh ideologis mereka tanpa terlibat dalam perang secara langsung. Perang Korea (1950-1953) merupakan salah satu contoh akibat dari perang dingin, AS mendukung Korea Selatan sementara Uni Soviet dan China mendukung Korea Utara. Begitu juga dalam Perang Vietnam (1955-1975), AS mendukung Vietnam Selatan melawan Vietnam Utara yang didukung oleh Uni Soviet dan China. Konflik-konflik ini memungkinkan kedua superpower untuk berkonfrontasi secara tidak langsung, memperburuk ketegangan global dan mengakibatkan kehancuran besar di negara-negara yang terlibat.

Perang Korea terjadi pada tahun 1950 ketika Korea Utara, yang didukung oleh Uni Soviet dan China, menyerang Korea Selatan dengan tujuan menyatukan semenanjung Korea di bawah rezim komunis. Amerika Serikat dan sekutunya di PBB segera merespons dengan mengirim pasukan untuk mendukung Korea Selatan. Konflik ini berlangsung hingga tahun 1953 dan berakhir dengan gencatan senjata, tetapi tanpa perjanjian damai, sehingga secara teknis kedua Korea masih dalam keadaan perang hingga saat ini.

Perang Vietnam dimulai sebagai konflik antara pemerintah Vietnam Selatan yang didukung oleh Amerika Serikat dan gerilyawan komunis Viet Cong serta Vietnam Utara yang didukung oleh Uni Soviet dan China. Tujuan utamanya adalah untuk menghentikan penyebaran komunisme di Asia Tenggara. Konflik ini memuncak pada tahun 1965 dengan keterlibatan besar-besaran pasukan AS dan berlanjut hingga 1975 ketika pasukan komunis merebut Saigon, mengakhiri perang dengan kemenangan bagi Vietnam Utara dan penyatuan Vietnam di bawah pemerintahan komunis.

Runtuhnya Uni Soviet

Perang Dingin berakhir pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an karena beberapa faktor utama. Pemicu utama adalah terjadinya reformasi di dalam Uni Soviet. Kebijakan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) yang diperkenalkan oleh Mikhail Gorbachev menyebabkan liberalisasi politik dan ekonomi yang melemahkan kontrol komunis. Mikhail Gorbachev tidak dianggap sebagai agen Barat atau terjebak oleh Amerika Serikat, melainkan ia mencoba untuk menyelamatkan Uni Soviet melalui reformasi politik dan ekonomi yang diperlukan. Namun, kebijakan glasnost dan perestroika-nya tidak mampu mengatasi masalah mendasar dan malah mempercepat disintegrasi Uni Soviet. Niatnya adalah memperkuat sistem, tetapi hasilnya justru melemahkan kontrol komunis.

Uni Soviet menghadapi krisis ekonomi yang parah karena kombinasi inefisiensi dalam sistem ekonomi terencana, korupsi yang meluas, dan kurangnya inovasi. Perlombaan senjata yang mahal dengan Amerika Serikat memaksa alokasi sumber daya yang besar untuk pertahanan, mengurangi investasi dalam sektor-sektor lain yang vital bagi pertumbuhan ekonomi. 

Selain itu, stagnasi ekonomi dan kurangnya reformasi efektif memperparah situasi. Tidak ada satu kekuatan eksternal yang secara langsung memaksa kehancuran Uni Soviet, tetapi tekanan dari perlombaan senjata dan ketidakmampuan internal untuk beradaptasi dengan perubahan global berkontribusi signifikan terhadap kejatuhannya.

Peningkatan tekanan dari Barat, terutama di bawah kepemimpinan Presiden AS Ronald Reagan, terkait erat dengan strategi ekonomi dan politik global pada masa itu. Reagan meningkatkan pengeluaran militer AS secara drastis dan melancarkan retorika keras terhadap Uni Soviet, memaksa Uni Soviet untuk memperluas anggaran militernya di tengah krisis ekonomi yang sudah parah. Langkah ini adalah bagian dari strategi yang dikenal sebagai "Reagan Doctrine," yang bertujuan mengurangi pengaruh dan kapasitas Soviet melalui tekanan ekonomi dan militer.

Setelah Perang Dunia II, banyak negara, termasuk yang berada di bawah pengaruh Soviet, menggunakan model ekonomi berbasis perusahaan negara atau BUMN untuk membangun kembali dan mengembangkan ekonomi mereka. Namun, model ini sering kali tidak efisien dan kurang responsif terhadap perubahan pasar global. 

Di sisi lain, negara-negara Barat semakin menganut kapitalisme murni dan privatisasi, di mana sektor swasta memainkan peran utama dalam perekonomian. Pergeseran ini sering didukung oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang mempromosikan liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sebagai jalan menuju pertumbuhan dan kemakmuran.

Gerakan kapitalis global yang mendorong privatisasi dan ekonomi pasar bebas memiliki pengaruh besar dalam membentuk tatanan ekonomi dunia pasca-Perang Dunia II. Tekanan ini juga diarahkan kepada Uni Soviet dan sekutu-sekutunya yang masih mengandalkan ekonomi terencana dan perusahaan negara. Dengan runtuhnya Uni Soviet, model ekonomi kapitalis pasar bebas menjadi dominan di seluruh dunia, memperkuat pandangan bahwa privatisasi dan liberalisasi ekonomi adalah kunci untuk pembangunan ekonomi dan stabilitas global.

Bangkitnya gerakan pro-demokrasi di negara-negara satelit Soviet di Eropa Timur terutama disebabkan oleh kombinasi faktor, termasuk kesulitan ekonomi yang melanda wilayah tersebut dan ketidakpuasan terhadap rezim komunis yang otoriter. Namun, ada juga indikasi bahwa pihak Barat memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok pro-demokrasi melalui pendanaan dan bantuan diplomatik secara diam-diam. Meskipun tidak mungkin untuk mengabaikan peran pemberontakan internal dalam perubahan ini, keterlibatan dan dukungan dari luar juga berkontribusi signifikan terhadap kejatuhan Tembok Berlin pada tahun 1989 dan melemahkan pengaruh Uni Soviet di wilayah tersebut.

Selain faktor-faktor ekonomi dan dukungan luar, perubahan politik di Eropa Timur juga dipengaruhi oleh aspirasi universal terhadap kebebasan dan demokrasi yang tersebar melalui media, pertukaran budaya, dan kontak dengan dunia Barat. Rasa ingin tahu akan alternatif politik dan kehidupan yang lebih bebas telah membentuk opini publik di Eropa Timur dan memperkuat gerakan pro-demokrasi. 

Perubahan ini juga tercermin dalam semangat reformasi yang ditunjukkan oleh beberapa pemimpin lokal, seperti Lech Walesa di Polandia dan Vaclav Havel di Cekoslowakia, yang memainkan peran penting dalam menginspirasi dan memobilisasi massa untuk menuntut perubahan. Dengan demikian, kejatuhan Tembok Berlin bukanlah hanya akibat dari tekanan eksternal, tetapi juga merupakan hasil dari dorongan internal yang kuat untuk kebebasan dan perubahan politik.

Ekspansi Nato Perang Rusia dan Ukraina

Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, 15 republik Soviet merdeka dan membentuk negara-negara baru yang berdaulat. Negara-negara tersebut adalah Rusia, Ukraina, Belarus, Moldova, Estonia, Latvia, Lituania, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. 

Proses kemerdekaan ini dipicu oleh melemahnya kontrol pusat di Moskow, meningkatnya tuntutan nasionalisme di berbagai republik, serta kegagalan ekonomi dan politik Uni Soviet. Pembubaran Uni Soviet secara resmi terjadi pada 26 Desember 1991, setelah Deklarasi Alma-Ata pada 21 Desember 1991 yang menegaskan kemerdekaan negara-negara ini dan membentuk Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) sebagai forum kerjasama antar bekas republik Soviet.

Setelah runtuhnya Uni Soviet, Pakta Warsawa, aliansi militer yang dipimpin oleh Uni Soviet, juga bubar pada tahun 1991. Sebaliknya, NATO, aliansi militer Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, tetap ada dan mulai menerima anggota baru dari bekas negara-negara blok Timur. Dokumen-dokumen deklasifikasi dari pertemuan-pertemuan diplomatik pada tahun 1990-an menunjukkan bahwa ada diskusi mengenai kemungkinan NATO tidak memperluas keanggotaannya ke bekas wilayah Soviet. 

Rusia menganggap bahwa janji-janji lisan yang diberikan oleh pemimpin Barat, seperti Menlu AS James Baker, bahwa NATO tidak akan bergerak "seinci pun ke timur" telah dilanggar. Data menunjukkan bahwa sejak berakhirnya Perang Dingin, NATO telah memperluas keanggotaannya secara signifikan ke arah timur, mendekati perbatasan Rusia. NATO telah menerima 14 anggota baru dari bekas blok Timur, termasuk negara-negara bekas republik Soviet seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania pada tahun 2004.

Masuknya anggota dari negara-negara bekas Uni Soviet ke NATO terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang Pertama Ekspansi NATO terjadi pada tahun 1999, NATO memperluas keanggotaannya untuk pertama kali setelah Perang Dingin dengan menerima tiga negara bekas blok Timur, yaitu Polandia, Hungaria, dan Republik Ceko. Ekspansi ini menandai dimulainya perluasan NATO ke timur yang dianggap oleh Rusia sebagai ancaman terhadap keamanannya.

Pada tahun 2004, NATO kembali memperluas keanggotaannya dengan menerima tujuh negara baru, termasuk negara-negara bekas Uni Soviet seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania, serta Bulgaria, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Ekspansi ini semakin mendekati perbatasan Rusia, menambah kekhawatiran Moskow. Penambahan keanggotaan NATO berikutnya juga terjadi pada negara-negara Albania, Kroasia pada gelombang ke tiga, dan diikuti oleh Montenegro, serta Makedonia Utara pada gelombang ke empat dan ke lima, sehingga total ke seluruhan menjadi 14 Negara.

Ketegangan antara Rusia dan Barat meningkat setelah Revolusi Maidan di Ukraina pada tahun 2014, yang mengakibatkan penggulingan Presiden pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Rusia merespons dengan mencaplok Crimea dan mendukung pemberontakan separatis di wilayah Donetsk dan Luhansk di timur Ukraina.

Hal ini menjadi titik balik utama, di mana NATO meningkatkan kehadirannya di Eropa Timur sebagai tanggapan, sementara Ukraina mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan NATO. Pada 2019, Ukraina memasukkan aspirasi untuk menjadi anggota NATO ke dalam konstitusinya, yang semakin memperdalam ketakutan Rusia akan pengepungan strategis.

Rusia secara konsisten mengekspresikan kekhawatirannya terhadap ekspansi NATO, yang disebutkan secara eksplisit sebagai ancaman utama dalam Strategi Keamanan Nasional Rusia yang diadopsi pada 2015. Sebelum krisis Ukraina, Rusia telah menunjukkan ketidakpuasan terhadap ekspansi NATO dengan invasi ke Georgia pada 2008, setelah negara itu mengumumkan keinginannya untuk bergabung dengan NATO. Kejadian ini menunjukkan pola perilaku Rusia terhadap negara-negara yang berusaha mengalihkan orientasi keamanan mereka ke Barat.

Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, telah terjadi ketidakpuasan Rusia terhadap ekspansi NATO, yang termanifestasikan dalam invasi ke Georgia pada tahun 2008 setelah negara tersebut menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota NATO. Pola perilaku ini menggambarkan respons Rusia terhadap negara-negara yang berupaya memperkuat hubungan keamanan mereka dengan Barat.

Perang Ukraine-Rusia: Konsekuensi Sanksi Ekonomi Barat

Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, NATO semakin meningkatkan komitmennya terhadap keamanan anggotanya di Eropa Timur. Latihan militer bersama dan peningkatan kehadiran pasukan NATO di negara-negara Baltik dan Polandia semakin sering terjadi.  Putin, Presiden Rusia, menjustifikasi invasi tersebut dengan alasan ekspansi NATO dan aktivitas militer Barat di sekitar perbatasan Rusia yang dianggapnya sebagai ancaman. Menurutnya, invasi diperlukan untuk melindungi warga Rusia dan mencegah ancaman yang dipercayainya berasal dari NATO.

Dalam pidato resmi sebelum invasi 2022, Presiden Putin menyatakan bahwa ekspansi NATO yang terus-menerus mengancam keamanan Rusia. Ia menuduh NATO menggunakan Ukraina sebagai alat untuk mengancam Rusia dan menyatakan bahwa tindakan militer diperlukan untuk mencegah ancaman ini dan melindungi warga Rusia di Ukraina timur.

Latihan militer NATO yang semakin sering di Eropa Timur dan penempatan sistem pertahanan misil di negara-negara seperti Polandia dan Rumania dianggap sebagai ancaman langsung oleh Rusia. Data dari NATO menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah dan skala latihan militer di sekitar perbatasan Rusia setelah 2014. Laporan dari Council on Foreign Relations dan Carnegie Endowment for International Peace menunjukkan bahwa ekspansi NATO ke timur dipandang oleh Rusia sebagai langkah agresif yang mengancam zona pengaruh tradisionalnya. Analis keamanan dari berbagai lembaga juga menyoroti bahwa NATO tidak memberikan jaminan keamanan yang memadai kepada Rusia mengenai batas ekspansi tersebut.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, komunitas internasional secara luas merespons dengan serangkaian sanksi ekonomi yang keras terhadap Rusia. Sanksi ini meliputi pembekuan aset, larangan perdagangan, dan pembatasan akses ke sektor keuangan internasional. Banyak negara Barat juga menghentikan atau membatasi perdagangan dengan Rusia, termasuk pembatasan teknologi dan peralatan yang dapat digunakan dalam sektor pertahanan dan energi. Selain itu, bantuan senjata dan dukungan militer diberikan kepada Ukraina oleh negara-negara Barat sebagai respons terhadap invasi Rusia. Hal ini termasuk pengiriman senjata, peralatan militer, dan bantuan logistik untuk membantu Ukraina dalam pertahanan mereka. Di sisi lain, bantuan serupa kepada Rusia dibatasi atau dihentikan sama sekali sebagai bagian dari sanksi ekonomi, memperparah isolasi ekonomi Rusia dan memberikan tekanan tambahan pada pemerintah Rusia untuk mengakhiri invasinya dan mencapai penyelesaian damai.

Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari dua tahun, dan situasinya semakin rumit. Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 telah menimbulkan guncangan besar bagi tatanan dunia pasca-Perang Dingin. Potensi perang berkepanjangan semakin besar mengingat gagalnya upaya perdamaian hingga saat ini. Banyak pihak khawatir bahwa penyerangan ke Ukraina akan menjadi pondasi bagi piramida ketegangan baru yang berakhir pada Perang Dunia Ketiga. Meskipun skenario ini masih spekulatif, potensinya tetap ada. Perang di Ukraina semakin bereskalasi dan berpotensi meluas. Pasukan Rusia terus mendekati ibu kota Kyiv, dan gempuran artileri terjadi di berbagai wilayah. Serangan udara dan serangan balik Ukraina juga meningkat.

Rusia mengusulkan koridor kemanusiaan dari kota-kota kunci, tetapi empat dari enam rute evakuasi menuju Rusia atau Belarus, negara sekutunya. Ukraina menyebut usulan ini "benar-benar tak bermoral". Mariupol, Chernihiv, dan Kharkiv adalah beberapa kota yang terus mengalami serangan. Kawasan permukiman hancur, dan PBB menyelidiki kemungkinan kejahatan perang. Meskipun menghadapi tekanan besar, pasukan Ukraina terus melawan dengan gigih. Namun, situasi tetap kompleks dan berbahaya. Perang ini memiliki dampak global yang signifikan, dan perlu upaya bersama untuk mencari solusi damai dan menghindari eskalasi lebih lanjut.

Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, negara-negara Barat (Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa) telah menerapkan lebih dari 16.500 sanksi terhadap Rusia. Perekonomian Rusia mengalami kontraksi sebesar 2,1% pada tahun pertama perang Ukraina. Sanksi-sanksi tersebut menyebabkan meningkatnya inflasi dan kehilangan nilai saham perusahaan Rusia di pasar internasional. Cadangan mata uang asing senilai US$350 miliar (sekitar Rp5.473 triliun) telah dibekukan, sekitar setengah dari total cadangan mata uang asing yang dimiliki Rusia.

Sanksi-sanksi ini mempengaruhi pasokan energi dan harga minyak serta gas alam. Membuat pasokan tidak stabil dan harga energi tinggi. Bagaimanapun Rusia adalah salah satu eksportir minyak dan gas terbesar di dunia. Dampak sanksi juga terasa pada harga pangan    melonjak dan mengalami kenaikan. Inflasi di Rusia tetap tinggi akibat ketidakstabilan ekonomi. Semoga situasi dapat membaik dan perdamaian dapat ditemukan.

Akhir Tulisan

Dunia pasca-Perang Dingin semakin ditandai oleh multipolaritas, di mana berbagai pusat kekuasaan hidup berdampingan dan bersaing. Lingkungan yang dinamis ini menghadirkan tantangan dan peluang bagi tata kelola global, stabilitas ekonomi, dan perdamaian. Memahami dan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan ini sangat penting untuk menavigasi tatanan internasional yang terus berkembang.

Perubahan signifikan dalam struktur kekuasaan global di era pasca-Perang Dingin menciptakan lanskap geopolitik yang lebih kompleks dan multipolar. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru seperti China dan Rusia, serta kebangkitan ekonomi Asia, kolfik Timur Tengah, dan terbuka sedaraan baru di Afrika yang menentang kolonialisme mempengaruhi dinamika global dalam berbagai carap di masa akan dating akan merpparah persaingain antaran pihak Barat dengan Rusia. Faktor-faktor ini berdampak besar pada hubungan internasional dan geopolitik, menciptakan tantangan dan peluang baru bagi kerja sama global dan stabilitas internasional.

oOo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun