Politik dua pasar terhadap minyak goreng ini menyebabkan rantai pasok terhadap minyak goreng menjadi rusak. Minyak yang diproduksi oleh produsen tidak tersalurkan secara keseluruhan. Minyak yang disalurkan oleh Mall-mall dan minimarket tentu dengan jumlah terbatas, jauh dari konsumsi total masyarakat Indonesia.Â
Sementara produksi minyak goreng dari produsen masih tetap dalam jumlah yang sama, sehingga minyak-minyak goreng bertumpuk di gudang-gudang gudang distributor, dan produsen. Kondisi ini tentu akan menimbulkan potensi kerugian  bagi distributor atau produsen minyak goreng.Â
Minyak goreng yang tersekat dirantai pasok, Â dan tidak disalurkan ke pasar. Kondisi yang menarik, pada saat yang sama pasar luar negeri saat itu membutuhkan minyak goreng akibat terhambatnya produksi minyak goreng berasal dari bunga matahari yang diproduksi Ukraina dan Rusia.Â
Harga yang tersedia sangat menjanjikan untuk memperoleh  keuntungan bagi produsen kelapa sawit. Sementara penduduk Eropa tidak punya pilihan lain dalam mengkonsumsi minyak goreng. Peluang trersebut membuat produsen minyak goreng Indonesia lebih memilih untuk mengekspor minyak goreng dalam negeri  ke luar negeri, dan mencari pasar baru yang ditinggal oleh minyak goreng yang berasal dari bunga matahari.
Pilihan mengekspor minyak goreng dalam jumlah besar menyebabkan persediaan minyak goreng dalam negeri tersedot ke luar negeri dan menyebabkan kelangkaan pasokan minyak goreng dalam negeri.. Sehingga keluhan masyarakat di dalam negeri yang menyatakan bahwa negeri yang mempunyai kebun sawit yang luas, dan produsen minyak goreng terbesar di dunia mengalami kekurangn  minyak goreng di dalam negeri. Kondisi ini tentu saja memberikan dampak tidak baik bagi pemerintah Indonesia, dan akan berakibat buruk jika berlangsung dalam waktu lama.
Industri kelapa sawit, baik dari hulu, atau produksi minyak sawit mentah, CPO, dan produk turunanya, termasuk minyak goreng tidak dikuasai oleh negara. Â
Mereka pada umumnya adalah swasta murni dan dengan investasi dari perusahaan luar negeri. Sehingga setiap keputusan yang dijalankan perusahan tersebut sangat tergantung kepada keputusan induk perusahaan yang berada di luar negeri. Sehingga kewenangan pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri tidak akan memberikan dampak sama sekali.Â
Melakukan kebijakan fiscal atau menurunkan pajak, atau memberikan subsidi terhadap produsen kelapa sawit tidak efektif. Selain membebani keuangan negara, memberikan keuntungan besar bagi perusahaan asing, juga tidak berdampak baik terhadap perkembangan ekonomi dalam negeri. Sehingga pemerintah pemerintah melakukan  banned, atau palarangan ekspor minyak goreng secara total.
 Pelarang  ini tentu saja dengan maksud untuk dan membanjiri pasar minyak goreng dalam negeri  dan memaksa produsen minyak goreng menurunkan harga minyak goreng.
Sepintah politik ini sangat baik untuk memaksa produsen menambah produksi minyak goreng dalam negeri, dan pasar akan dibanjiri oleh minyak goreng, dan harga minyak goreng turun sampai ke harga target Rp.14.000,-. Namun jika produsen minyak goreng tidak memenuhi target tersebut maka akan timbul masalah baru. Â Mereka bisa saja menghentikan produksi untuk sementara, dan memindahkan investasi ke sektor lain, dan membiarkan untuk sementara produksi dalam negeri menjadi terlantar.
Pertimbangan bagi produsen minyak goreng atau CPO adalah kapital, yang mana yang memberikan keuntungan yang lebih besar dalam waktu singkat merupakan pilihan dari keputusan mereka. Tentu saja merekalebih memilih mengekspor ke luar negeri dibandingkan mengurangi harga jual di dalam negeri, memperbesar, atau mengurangi produksi.Â