Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Melawan Ketakutan terhadap Air di Jojogan

1 Februari 2017   14:31 Diperbarui: 2 Februari 2017   09:53 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jojogan. Nama geografis yang agak asing di tatar Sunda. Nama ini mungkin berasal dari bahasa Jawa seperti satu nama desa yang sama di Pemalang, Jawa Tengah, yang mempunyai arti “tujuan.” Berasal dari kata “jog-jogan” atau dalam bahasa jawa “anjog-anjogan” yang artinya “suatu tempat tujuan kebanyakan orang luar daerah untuk singgah atau menetap di dalamnya dan berhasil dalam kehidupannya”.

Namun Jojogan di Dusun Gunungtiga, Desa Cintaratu, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat bukanlah desa yang menjadi tempat tujuan tertentu, tetapi suatu perbukitan karst yang mungkin sebelum dikembangkan sebagai lokasi wisata “Jojogan Wonder Hill” hanyalah bukit ladang gersang biasa. Mengikuti tetangganya, Citumang, yang sudah terlebih dahulu terkenal sebagai tujuan wisata body-rafting, Jojogan menjadi alternatif wisata dengan atraksi yang sama. Sekarang, Jojogan benar-benar memaknai arti toponimnya sendiri sebagai tujuan wisata yang dikejar para wisatawan. Hampir setiap akhir pekan, wisatawan mengantre ke Jojogan.

Atraksinya cukup meningkatkan adrenalin. Bagi saya yang tidak bisa berenang, menghadapi genangan air dalam mempunyai trauma sendiri. Tahun 2015 saat mengikuti atraksi body-rafting di Citumang, atau cocoknya mengikuti terminologi bahasa Sunda ‘papalidan’ (menghanyutkan diri di sungai), si pemandu menangkap rasa grogi dan cemas saya terhadap air sungai. Sekalipun menggunakan pelampung, rasa cemas itu tetap muncul. Begitulah, beberapa kali pemandu meyakinkan saya untuk ikut terus atau tidak. Saya menyelesaikan papalidan di Citumang dengan banyak kecemasan.

Papalidan di Resurgens Jojogan
Papalidan di Resurgens Jojogan
Sekalipun dilengkapi pelampung, rasa cemas itu muncul lagi di Jojogan saat ikut serta sebagai interpreter langganan Jelajah Geotrek yang dikelola Matabumi pada Sabtu Minggu, 28 – 29 Januari 2017. Mula-mulanya peserta dibawa menghulu sungai yang bersumber dari Gua Jojogan. Sejauh 50 m awal, gua bersungai itu masih terang karena atap gua terbuka tembus ke langit. Namun setelah itu, sungai benar-benar keluar dari gua yang gelap. Sejauh 30 m kemudian, sebuah dinding gua menghalangi kami dan sungai mengalir dari lubang gua yang seluruhnya terisi air.

Di Citumang atraksi diawali dengan terjun dari ketinggian 7 m ke sungai resurgens (sungai bawah tanah karst yang muncul kembali ke permukaan). Saat itu saya tidak berani melakukannya. Kali ini di Jojogan, saya mencobanya untuk terjun ke air dari ketinggian sekitar 3 m. Sensasinya, saat kita terjun, cahaya senter/lampu yang dibawa pemandu langsung dimatikan. Jadi saat tubuh kita melayang di udara dan jatuh di air, kondisi gelap gulita. Pasrah… tetapi ketakutan jatuh di air berhasil saya tuntasi. Alhamdulillah. Walaupun di tempat berikutnya yang terang, terjun dari 7 m saya tidak berani melakukannya, tetapi dua kali terjun setinggi 2 meteran berhasil saya lalui dengan baik di bagian hilir sungai yang berarus deras.

Karst Jojogan

Setelah kesuksesan Citumang yang mengikuti Gua Pindul di Gunungsewu, Yogyakarta, Jojogan adalah atraksi geowisata sungai karst yang selalu menarik. Sama seperti Gua Pindul atau Kali Suci di Gunungsewu, Jojogan dengan aliran sungai Ci Tumang adalah sungai karst yang sebagian mengalir di atas permukaan tanah, tetapi sebagian segmen sungai masuk ke dalam batuan sebagai sungai bawah tanah. Hal itu sangat khas untuk wilayah karst di mana pun.

Aliran Ci Tumang (atau dalam peta geologi disebut Ci Tanjung) berasal dari wilayah utara perbukitan Parigi. Sungai itu mengalir melewati Santirah yang juga dikembangkan sebagai tujuan wisata yang sama. Ke arah selatan, sungai mengalir di permukaan sebelum masuk ke dalam tanah kira-kira sepanjang 400 – 500 m (titik 1 pada gambar di bawah) dan keluar lagi di Gua Jojogan (titik 2) tempat atraksi terjun di kegelapan. Lorong Gua Jojogan dengan sungai bawah tanahnya sangat jelas dikontrol oleh retakan tegak berarah hampir utara-selatan. Dinding gua tersusun dari batugamping bioklastik berlapis-lapis tipis dengan kedudukan horizontal/mendatar dari Anggota Batugamping Kalkarenit Formasi Pamutuan berumur Miosen Tengah, kira-kira 15 juta tahun. Kondisi geologi seperti ini memang sangat ideal untuk berkembangnya karstifikasi, yaitu proses pelarutan batuan karbonat yang kaya kalsium-karbonat oleh air hujan.

Aliran Ci Tumang (atau Ci Tanjung) mengarah ke tenggara untuk kemudian masuk kembali ke dalam gua yang diduga dari peta google-map panjangnya mencapai 1 km sebelum keluar sebagai resurgens di Gua Citumang. Dari google-map tampak bahwa ekspresi permukaan dari kemungkinan arah aliran sungai bawah tanah berupa morfologi retakan yang memanjang menghubungkan tempat sungai masuk ke dalam gua dengan tempat keluarnya (resurgens) Citumang (antara titik 3 dan 4 pada gambar di bawah).

Geomorfologi aliran Ci Tumang
Geomorfologi aliran Ci Tumang
Fenomena karst lain adalah terbentuknya air terjun bertingkat-tingkat, Curug Jojogan. Permukaan yang bertingkat-tingkat itu merupakan endapan travertin kalsium karbonat yang terbawa oleh air sungai yang terjun. Lapis demi lapis karbonat membentuk permukaan yang kemudian membatu menghasilkan permukaan air terjun dengan tinggi total 30 m yang dapat dijelajahi hingga ke atas.

Curug travertin Jojogan
Curug travertin Jojogan
Bagian atas Curug Jojogan
Bagian atas Curug Jojogan
Ketika keesokan harinya peserta Jelajah Geotrek Matabumi mengunjungi beberapa gua di Pananjung, fenomena karst terjadi hampir sama dengan di Jojogan. Walaupun batuannya berbeda formasi, yaitu batugamping terumbu Formasi Kalipucang, tapi berumur sama dengan Formasi Pamutuan, serta proses kartifikasinya juga sama.

Gua Cemped atau Gua Miring dan Gua Parat adalah dua gua yang ditelusuri di Pananjung. Gua Miring diberi nama demikian karena tempat keluar di sisi lain menjadi miring dengan bagian dalamnya sangat tampak dikontrol oleh retakan vertikal yang sempit (selebar 1 – 2 m). Adapun Gua Parat diberi nama demikian karena tembus di kedua sisi, diduga tadinya merupakan sungai bawah tanah. Retakan di kedua gua ini jelas mengontrol pola lorong gua. Di kedua gua, pembentukan ornamen gua berupa stalaktit dan stalagmit berkembang baik. Bentuk-bentuk stalaktit dan stalagmit yang bermacam-macam, diberi nama sesuai bentuk yang ditafsirkannya: pocong, ibu memangku anak, fried chicken, bahkan seperti biasa nama-nama dari dunia perhantuan atau yang berbau ke arah alat vital manusia, kumplit dari kedua jenis. Walaupun kalau dilihat-lihat dengan saksama, ya… tidak mirip-mirip amat. Itu bisa-bisanya si pemandu saja supaya wisata lebih atraktif.

Terjebak macet saat pulang

Jelajah Geotrek Matabumi kali ini mengambil waktu liburan Imlek, Tahun Baru Cina yang kali ini bershio ayam jago api. Jumat malam kami berangkat dan pagi hari keesokannya langsung menuju kawasan pengelolaan hutan mangrove Batukaras, Nusawiru. Di sini peserta memahami pentingnya hutan mangrove untuk lingkungan. Peserta diberi kesempatan menanam bibit tancang, jenis mangrove yang berakar tunjang. Jenis lainnya adalah pidada dan api-api, serta nipah yang tidak tergolong mangrove tetapi selalu berasosiasi, tumbuh baik di lahan muara sungai Ci Julang yang seluas hanya 12 ha.

Kawasan hutan mangrove Batukaras, Nusawiru
Kawasan hutan mangrove Batukaras, Nusawiru
Siangnya, geotrek ke Jojogan dan malamnya menginap di hotel di Pangandaran. Esoknya, sayangnya hujan turun, berperahu mengamati menara stack Batulayar di pantai timur Pananjung. Perahu mendarat di pasir putih dan kemudian menjelajah dua gua yang disebut di atas.

Matabumi merancang pulang ke Bandung agak siang. Namun tak urung akhirnya baru pukul 2 siang, bus mulai beranjak pergi dari hotel. Rupanya semua wisatawan yang memenuhi pantai barat Pangandaran yang sangat padat, sehati untuk pulang pada jam yang sama. Macetlah lalu lintas sepanjang Pangandaran, Banjar, Ciamis, Malangbong, hingga Nagreg. Perkiraan sampai Bandung pukul 20.00 akhirnya dengan pasrah harus diperpanjang hingga pukul 01.00 dini hari. 

Pantai Pangandaran yang padat, pegelek-gelek, eplok cendol-dol-dol :(
Pantai Pangandaran yang padat, pegelek-gelek, eplok cendol-dol-dol :(
Yah begitulah….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun