Kamu memerhatikan tembok di sisi meja kita, tembok yang hanya diplester. Matamu memandang begitu jauh, begitu substil, begitu sublim.
"Apa yang kamu lakukan?"
Jawabmu, kamu jadi ingin bercermin di dingin semen beku.
"Semen itu mengeras, bukan membeku."
Katamu, kamu ingin bercermin di dingin semen beku. Kamu berbicara dengan suara yang lebih nyaring.
Kugapai rambutmu yang berantakkan, kubetulkan helai demi helai hingga rapi bagaikan deretan tanggal di kalender. Kamu kelihatan lebih cantik sekarang.
"Kamu sudah menemukan dirimu?" tanyaku. Rambut hitam sebahumu bergerak mengikuti kepalamu yang mengatakan tidak. Aku jadi ingat pernikahan kita.
"Aku tidak pernah mencintaimu, tidak akan pernah." Begitulah yang kamu katakan sehari setelah kita sah sebagai suami-istri. Tentu saja aku kaget, sangat kaget. "Kamu hanya dalih agar orang tuaku tidak malu." Kejujuranmu membuat kita begitu jauh setelahnya, sangat jauh layaknya jarak yang dilalui ratusan PO bus setiap hari. Walau kita tetap bersama, akan tetapi hubungan yang terjalin hanya sebatas simbiosis parasitisme antara antioksidan dalam kopi dan oksidan dari pembakaran zat organik pada rokok. Sebelum hari ini, aku bukan perokok.
"Kamu orang baik," katamu pada suatu malam di salah satu tanggal Januari, "sesekali aku ingin baik padamu, agar kamu bahagia karenaku." Berangkatlah kita  menuju 3 kota yang sangat ingin kamu kunjungi.
Bogor. Orang tuamu gembira melihat kita bermesraan di hadapan mereka. Aku juga begitu dan yang lebih penting adalah di rumah orang tuamulah kita bersenggama pertama kali, kamu luar biasa. Sebelum kita meninggalkan Bogor, kita sempatkan diri bergandengan di pendestrian kota itu. "Kota ini sekarang terlalu penuh dengan pembangunan serta agama.
Aku tak nyaman lagi berada di sini. Tapi di sini, aku pernah tumbuh begitu lama lalu menemukan ciuman pertamaku, bersama seorang perempuan. Perempuan yang kemudian meninggalkanku begitu saja setelah ia menemukan jilbab dalam tas slempangku. Itu sudah lama sekali," tuturmu seraya mengapitkan diri padaku, erat. Wajahmu memerah waktu itu, mungkin hanya karena cuaca yang kebetulan terik.