Mohon tunggu...
Bayu Wira Pratama
Bayu Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah seseorang yang terus mencari identitas dan belajar untuk terus belajar. Sangat menghargai pengetahuan, apalagi ketidaktahuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Epicurus: Kenikmatan adalah Koentji

28 September 2022   08:10 Diperbarui: 28 September 2022   08:24 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Epicurus dari NYPL Digital Collections

"Jangan sia-siakan apa yang kalian miliki akibat mengharap pada apa yang tidak kalian punya"

Epicurus adalah seorang filsuf yang lahir pada 341 SM di Pulau Samos. Sejak usia muda ia telah mengalami pertanyaan-pertanyaan dan rasa curiga dan penasaran terhadap jawaban-jawaban yang diberikan orang-orang dewasa kepadanya. Ia mempelajari ajaran-ajaran Heraclitus dan Democritus.

Epicurus hidup nomaden, mulai dari Colophon, Pulau Lesbos, hingga memilih menetap di Athena ketika usianya 35 tahun. Di sana, ia membangun sebuah rumah bertembok tinggi di luar tembok kota. Di situlah ia membangun sebuah sekolah filsafat yang disebut dengan Kepos (Taman). Maka, jika kita mengenal Filosofi Teras yang dinisbatkan kepada filsuf-filsuf Stoisisme, maka Filosofi Taman layak dinisbatkan kepada filsuf-filsuf Epicureanisme.

Pada satu sisi tembok rumah tersebut tertulis, "Wahai orang asing, kau akan merasa senang di tempat ini. Di sini, kebaikan paling luhur merupakan kenikmatan." Terasa lebih hangat ketimbang apa yang tertulis di depan Akademi Plato, "Siapa pun yang tidak mengerti geometri dilarang masuk."

Taman berpagar tembok ini dibangun oleh Epicurus, sejalan dengan semboyannya, Lathe Biosas (hidup tersembunyi). Pada masanya, segala bentuk pengasingan diri dicurigai, pada masa kini sama saja. Mereka yang penyendiri dijauhi dan dicurigai.

Sekolah filsafat Epicurus ini membuka pintunya bagi siapa pun. Laki-laki, perempuan, budak, hingga PSK sekalipun, boleh memasukinya. Hal ini makin menambah kecurigaan orang-orang, yang menuduh bahwa di dalam sana -karena berisi orang-orang buangan- dilakukan pesta pora dan seks bebas.

Di antara inti ajaran filsafat Epicurus adalah tentang kenikmatan sebagai kebaikan terluhur. Filsafat hanyalah sarana untuk memperoleh kenikmatan.

Mencari kenikmatan itu alamiah, seperti bernapas. Orang tidak perlu diberi tahu bahwa api itu panas dan buah itu enak.

Epicurus mengartikan kenikmatan dengan lain sebagaimana yang diartikan orang pada umumnya. Kenikmatan kerap kali diartikan sebagai sebuah keadaan dimana kita bisa melakukan apa pun, membeli apa pun, harta berlimpah, dan selalu makan di restoran bintang lima. 

Meskipun memang pada awalnya ia mengartikan bahwa kenikmatan berkaitan dengan perut,tapi pedoman hidup yang ditarik dari situ adalah bahwa kenikmatan adalah sebuah ketiadaan dari berbagai gangguan (Ataraxia).

Alih-alih kenikmatan diartikan sebagai apa pun yang akan menimbulkan rasa senang, yang dapat mengarah pada hedonisme, kenikmatan diartikan sebagai ketiadaan rasa cemas.

Kenikmatan bukanlah lawan dari kesakitan, tapi ketiadaan kesakitan. Baginya, kenikmatan rohani atau jiwa adalah kenikmatan yang tertinggi. Kenikmatan dan ketenangan jiwa menjadi kemungkinan ultimnya manusia sekaligus memberikan makna pada keberadaannya.

Epicurus membagi kenikmatan ke dalam tiga kategori:

1. Kenikmatan Alamiah dan Mutlak (Untuk Hidup)
(Pemenuhan rasa lapar, haus, dan seks)
2. Kenikmatan Alamiah tapi Tidak Mutlak
(Makanan, minuman, dan seks yang dicari secara berlebihan)
3. Kenikmatan Tidak Alamiah dan Tidak Mutlak
(Hasrat untuk kaya raya, dihormati, dan dimuliakan).

Kenikmatan yang terakhir, sebuah hasrat yang hampa, paling banyak membuat kita menderita.

Kenikmatan alamiah yang dipenuhi secara berlebihan dapat menciptakan ketergantungan. Satu keinginan dipenuhi, muncul keinginan baru, begitu seterusnya. Kebebasan kita pun menjadi hilang dan tak bisa melakukan hal lain.

Epicurus juga membagi kenikmatan itu menjadi kenikmatan statis dan kinetik. Kenikmatan kinetik adalah minum air dingin di siang bolong, kenikmatan statis adalah perasaan setelah minum air dingin tersebut. Menurut Epicurus, kenikmatan statis-lah yang lebih unggul, karena kita mencarinya bukan karena alasan apa pun.

Jangan sampai keliru menganggap hasrat yang tidak perlu sebagai perlu, karena akan menimbulkan rasa sakit karena tidak memiliki, dan membuat kita menggantungkan kebahagiaan kepada hal yang tidak dimiliki tersebut.

Epicurus menegaskan, bahwa dengan pola pikir yang benar, sewadah kecil keju mampu mengubah makanan sederhana menjadi mewah.

Penderitaan yang tak perlu muncul karena anggapan bahwa kenikmatan dan kesenangan bisa ditingkatkan, padahal keduanya hanya bisa bervariasi.

Filosofi Epicurus ini adalah filosofi penerimaan dan rasa syukur. Menerima dengan tulus apa pun kebaikan yang datang atau diberikan. Nikmati kebaikan yang datang dan jangan mencarinya. "Hal-hal baik datang kepada mereka yang tidak mengharapkan hal baik datang kepada mereka."

Ruang lingkup kenikmatan lebih luas dari kebahagiaan. Kehidupan yang sederhana yang dikelilingi hal-hal yang mudah dijangkau adalah yang paling nikmat.

Seluruh kenikmatan itu baik, sebagaimana seluruh kesakitan itu buruk. Tapi, bukan berarti harus selalu memilih kenikmatan. Jika kenikmatan itu kelak di masa depan akan membawa pada kesakitan maka sudah seharusnya dihindari. 

Kenikmatan merokok kelak di masa depan dapat menimbulkan kanker paru-paru. Malah, kesakitan dapat menimbulkan kenikmatan kelak di masa depan. Kesakitan berlatih di gym kelak di masa depan dapat merasakan kenikmatannya.

Kenikmatan dapat dicapai dengan akal sehat, karena jika kita tidak bahagia, itu karena kita tidak berpikir jernih saat menimbang-nimbang kenikmatan dan kesakitan. Di sini Epicurus mengikutsertakan rasio kita dalam sebuah seni hidup yang rasional.

Kunci sederhananya, tidak akan pernah ada kata cukup untuk orang yang cukupnya terlalu sedikit.

Untuk mendapatkan kenikmatan, tidak melulu memerlukan harta benda jika hati seorang manusia sudah memiliki rasa cukup (Autarkeia).

Rasa cukup -cukup bagus- adalah bentuk syukur atas apa pun yang dianugerahkan untuk kita. Sempurna itu musuh bagus, tapi bagus juga musuh cukup bagus. Jika dipraktikkan terus menerus, "cukup" nya akan terlepas, seperti ular berganti kulit, dan yang tersisa hanya "bagus".

Dengan kata lain, sempurna.

Referensi:
1. Thivet, Jean-Philippe, dkk. Filokomik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2020.
2. Weij, Van der. Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2017.
3. Weiner, Eric. The Socrates Express. Bandung: Qanita, 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun