Ruang lingkup kenikmatan lebih luas dari kebahagiaan. Kehidupan yang sederhana yang dikelilingi hal-hal yang mudah dijangkau adalah yang paling nikmat.
Seluruh kenikmatan itu baik, sebagaimana seluruh kesakitan itu buruk. Tapi, bukan berarti harus selalu memilih kenikmatan. Jika kenikmatan itu kelak di masa depan akan membawa pada kesakitan maka sudah seharusnya dihindari.Â
Kenikmatan merokok kelak di masa depan dapat menimbulkan kanker paru-paru. Malah, kesakitan dapat menimbulkan kenikmatan kelak di masa depan. Kesakitan berlatih di gym kelak di masa depan dapat merasakan kenikmatannya.
Kenikmatan dapat dicapai dengan akal sehat, karena jika kita tidak bahagia, itu karena kita tidak berpikir jernih saat menimbang-nimbang kenikmatan dan kesakitan. Di sini Epicurus mengikutsertakan rasio kita dalam sebuah seni hidup yang rasional.
Kunci sederhananya, tidak akan pernah ada kata cukup untuk orang yang cukupnya terlalu sedikit.
Untuk mendapatkan kenikmatan, tidak melulu memerlukan harta benda jika hati seorang manusia sudah memiliki rasa cukup (Autarkeia).
Rasa cukup -cukup bagus- adalah bentuk syukur atas apa pun yang dianugerahkan untuk kita. Sempurna itu musuh bagus, tapi bagus juga musuh cukup bagus. Jika dipraktikkan terus menerus, "cukup" nya akan terlepas, seperti ular berganti kulit, dan yang tersisa hanya "bagus".
Dengan kata lain, sempurna.
Referensi:
1. Thivet, Jean-Philippe, dkk. Filokomik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2020.
2. Weij, Van der. Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2017.
3. Weiner, Eric. The Socrates Express. Bandung: Qanita, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H