Mohon tunggu...
Bayu Tonggo
Bayu Tonggo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penulis adalah Mahasiswa di IFTK Ledalero, Maumere, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bela Negara: Siapa Takut?

26 Agustus 2020   09:37 Diperbarui: 26 Agustus 2020   09:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasan "bela negara" merupakan bahasan yang sekurang-kurangnya berbau nasionalisme dan patriotisme. "Bela negara" menjadi sebuah ungkapan yang pastinya senantiasa terus dikumandangkan serta dituntut (kewajiban) untuk dihayati dalam keseharian hidup sebagai warga, masyarakat sebuah negara. 

Penghayatannya tentu saja mengarah pada sikap dan tindakan yang bersubstansi nasionalisme dan patriotisme itu sendiri. Apalagi kalau sebuah negara itu menghidupi spirit "masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society); yang pastinya tak lupa pula untuk menggandeng semangat bela negara tersebut.

Bangsa Indonesia sendiri dalam perjalanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya, senantiasa ada pada lajur perjuangan guna menghidupi masyarakat sipil/madani (civil society). Perjuangan tersebut tentu ingin menghidupi komunitas politik yang beradab, berkode hukum, dan memiliki kewargaan, sosial budaya; sebagaimana yang dikemukakan oleh Cicero, Sang Orator Yunani Kuno (106-43SM).

Tata-laku hidup masyarakat sipil/masyarakat madani sebagaimana yang diutarakan oleh Cicero tersebut, tentu haruslah tetap mengingat keberadaannya yang hidup di sebuah negara (Indonesia) yang mampu dan telah menciptakan kenyamanan baginya, untuk bertata-laku sebagai civil society. 

Tindak "mengingat" yang dimaksud, dapatlah tampil dengan hadirnya semangat "bela negara" (nasionalisme dan patriotisme) yang pastinya mesti dijalankan secara layak dan pantas. 

Ibaratnya, seseorang yang telah diberi hadiah kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, tentu mesti memiliki "rasa balas jasa" kepada orang yang telah menghadirkan kebahagiaan dan kenyamanan baginya itu.

Ihwal "bela negara" di negeri kita Indonesia ini, sesungguhnya telah menjadi sebuah pemahaman yang termaktub sejak masa-masa awal perjuangan, tatakala segenap rakyat Indonesia mengalami penjajahan serta berjibaku merebut kemerdekaan. Pada masa itulah mulai lahir sikap dan tindakan yang bersubstansi nasionalisme dan patriotisme (bela negara). 

Sehingga semestinya publik Indonesia benar-benar memahami apa dan bagaimana tata-cara menghidupi sekaligus mengkonkretkan bahasan "bela negara". Karena sudah sejak lama terpatri dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia sendiri.

Beberapa hari terakhir publik Indonesia cukup dihebohkan dengan perdebatan "perlu atau tidak perlu", diberlakukan pendidikan militer melalui program bela negara dalam jenjang pendidikan. Hal ini berawal dari inisiatif Kementrian Pertahanan yang berencana menggandeng Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuka program tersebut.

Sebagai sebuah masyarakat sipil (civil society) daya pertimbangan-kritis (setuju atau tidak setuju)  terhadap sebuah pencanangan program, bukanlah menjadi sebuah persoalan yang fatal. Hal ini diperlukan untuk membuahkan praktek pelaksanaan program yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan bersama. 

Apalagi secara historis,  publik Indonesia secara kognitif telah lama mengalami spirit "bela negara". Namun,  cukup menjadi sebuah soal yang rumit, bila program bela negara yang tengah dicanangkan atau pun yang dihasilkan nantinya, tak sesuai secara kontekstual dan tak sesuai dengan kehendak masyarakat Indonesia (civil society) yang menjadi andil dari kehidupan sebuah negara yang demokratis.

Sebagai sebuah masyarakat madani (civil society), tindak bela negara bagi publik Indonesia haruslah menjadi sebuah kewajiban. Menukil ungkapan Pemerhati Pendidikan Ina Liem pada Kompas.com (Jumat, 21/8/2020), bahwa setelah zaman penjajahan, kita sibuk memperjuangkan hak,  tetapi kita lupa bahwa kita adalah bagian dari mmasyarakat; punya tanggung jawab sosial. Pendidikan militer yang mengajarkan kepekaan sosial dan tanggung jawab  boleh melengkapi kewajiban yang kosong tersebut.

Ungkapan Ina Liem dapat mendukung diberlakukan program bela negara. Namun, bagi penulis, satu hal yang mesti diperhatikan dalam pencanangan program bela negara ialah, perlu adanya pertimbangan serta pengkajian secara lebih jauh berkenaan dengan situasi kontekstual dan kehidupan masyarakat Indonesia, yang sebagai civil society mengklaim kebebasan berkehendak.

Bahwasannya, pertama, kewajiban publik Indonesia (civil society) untuk turut berpartisipasi dalam pendidikan bela negara bukan merupakan "kewajiban yang buta". Kewajiban ini mesti dinaungi pula oleh asas kebebasan untuk bergabung atau tidak (join or not). Sehingga, term-term semisal "wajib militer" semestinya ditiadakan, guna menghilangkan kesan "militerisasi yang memaksa".

Kedua,  kita boleh melirik pemahaman civil society yang pernah diutarakan oleh Dr. Mansour Faqih. Beliau melihat istilah "masyarakat madani" (civil society) sebagai lawan dari "masyarakat militer".

Memang pandangan Dr. Mansour Faqih itu, cukup banyak mengundang polemik pengertian (soal tepat-tak tepat). Namun,  kita dapat menilik kaitannya dengam konteks kehidupan publik Indonesia saat ini, yang sedikit dilematis; "setuju atau tak setuju" menerima program bela negara ala Kementrian Pertahanan.

Dalam hal ini,  Kementrian Pertahanan dalam kerja samanya dengan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dalam memasukan program bela negara pada ranah pendidikan, mesti  me-manage dan menata secara baik dan jeli. Bahwasannya, program tersebut mesti dapat menciptakan ruang pendidikan yang haruslah berwarna secara kontekstual. 

Dalam artian bahwa, program bela negara yang dimasukan pada ranah pendidikan harus didominasi oleh penanaman kultur nilai-nilai yang membangun serta urgen dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia (civil society) saat ini. Sehingga tujuan pendidikan bela negara tidak menciptakan ruang pemahaman yang keliru bagi masyarakat madani Indonesia, bahwa "pendidikan bela negara akan menciptakan masyarakat militer".

Akhirnya, pendidikan bela negara akan mampu menjadi sebuah program yang kredibilitas di hadapan masyarakat Indonesia, bila terlaksana sesuai dengan situasi kontekstual zaman ini dan harapan kenyamanan hidup masyarakat Indonesia sendiri. 

Kehadiran pendidikan bela negara haruslah pula mengayomi sekaligus mengangkat kewibawaan publik Indonesia sebagai masyarkat sipil/masyarakat madani (civil society), yang pastinya secara psikis tak mau ditekan oleh kultur militer serta adanya iming-iming perang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun