Mohon tunggu...
Bayu Tonggo
Bayu Tonggo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penulis adalah Mahasiswa di IFTK Ledalero, Maumere, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bela Negara: Siapa Takut?

26 Agustus 2020   09:37 Diperbarui: 26 Agustus 2020   09:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai sebuah masyarakat madani (civil society), tindak bela negara bagi publik Indonesia haruslah menjadi sebuah kewajiban. Menukil ungkapan Pemerhati Pendidikan Ina Liem pada Kompas.com (Jumat, 21/8/2020), bahwa setelah zaman penjajahan, kita sibuk memperjuangkan hak,  tetapi kita lupa bahwa kita adalah bagian dari mmasyarakat; punya tanggung jawab sosial. Pendidikan militer yang mengajarkan kepekaan sosial dan tanggung jawab  boleh melengkapi kewajiban yang kosong tersebut.

Ungkapan Ina Liem dapat mendukung diberlakukan program bela negara. Namun, bagi penulis, satu hal yang mesti diperhatikan dalam pencanangan program bela negara ialah, perlu adanya pertimbangan serta pengkajian secara lebih jauh berkenaan dengan situasi kontekstual dan kehidupan masyarakat Indonesia, yang sebagai civil society mengklaim kebebasan berkehendak.

Bahwasannya, pertama, kewajiban publik Indonesia (civil society) untuk turut berpartisipasi dalam pendidikan bela negara bukan merupakan "kewajiban yang buta". Kewajiban ini mesti dinaungi pula oleh asas kebebasan untuk bergabung atau tidak (join or not). Sehingga, term-term semisal "wajib militer" semestinya ditiadakan, guna menghilangkan kesan "militerisasi yang memaksa".

Kedua,  kita boleh melirik pemahaman civil society yang pernah diutarakan oleh Dr. Mansour Faqih. Beliau melihat istilah "masyarakat madani" (civil society) sebagai lawan dari "masyarakat militer".

Memang pandangan Dr. Mansour Faqih itu, cukup banyak mengundang polemik pengertian (soal tepat-tak tepat). Namun,  kita dapat menilik kaitannya dengam konteks kehidupan publik Indonesia saat ini, yang sedikit dilematis; "setuju atau tak setuju" menerima program bela negara ala Kementrian Pertahanan.

Dalam hal ini,  Kementrian Pertahanan dalam kerja samanya dengan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dalam memasukan program bela negara pada ranah pendidikan, mesti  me-manage dan menata secara baik dan jeli. Bahwasannya, program tersebut mesti dapat menciptakan ruang pendidikan yang haruslah berwarna secara kontekstual. 

Dalam artian bahwa, program bela negara yang dimasukan pada ranah pendidikan harus didominasi oleh penanaman kultur nilai-nilai yang membangun serta urgen dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia (civil society) saat ini. Sehingga tujuan pendidikan bela negara tidak menciptakan ruang pemahaman yang keliru bagi masyarakat madani Indonesia, bahwa "pendidikan bela negara akan menciptakan masyarakat militer".

Akhirnya, pendidikan bela negara akan mampu menjadi sebuah program yang kredibilitas di hadapan masyarakat Indonesia, bila terlaksana sesuai dengan situasi kontekstual zaman ini dan harapan kenyamanan hidup masyarakat Indonesia sendiri. 

Kehadiran pendidikan bela negara haruslah pula mengayomi sekaligus mengangkat kewibawaan publik Indonesia sebagai masyarkat sipil/masyarakat madani (civil society), yang pastinya secara psikis tak mau ditekan oleh kultur militer serta adanya iming-iming perang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun