Mohon tunggu...
Bayu Surya Wirayudha
Bayu Surya Wirayudha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Seni Indonesia Surakarta

Saya adalah seorang mahasiswa yang sedang menempuh studi di jurusan Film dan Televisi. Dengan minat yang mendalam dalam dunia perfilman, saya berusaha untuk mengembangkan keterampilan teknis dan kreatif dalam menciptakan karya visual yang menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Inovasi Etika, Norma, dan Budaya: Peran Digitalisasi dan Infrastruktur dalam Perkembangan Pewayangan Kota Bekasi

1 Januari 2025   15:53 Diperbarui: 1 Januari 2025   15:53 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infrastruktur Kota Bekasi (sumber: foto pribadi)

Pendahuluan

Kota Bekasi memiliki sejarah budaya yang unik, salah satunya adalah seni pewayangan. Pewayangan di Bekasi, khususnya wayang kulit, memiliki berbagai teori asal usul yang menjadi perdebatan. Pendapat pertama mengaitkan kedatangan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram dengan munculnya wayang kulit pada tahun 1627 dan 1629 ditandai. Pasukan Sultan Agung yang gagal mengusir Belanda kemudian menetap di sekitar Batavia dan diyakini membawa serta tradisi pewayangan.

Pendapat kedua menyatakan bahwa wayang kulit Betawi berasal dari orang-orang Cirebon yang ditugaskan untuk kerja paksa mengeruk kali Ciliwung setelah bencana gempa bumi dahsyat pada tahun 1699. Selama menetap di wilayah tersebut, mereka diyakini turut menyebarkan tradisi pewayangan.

Pendapat ketiga, yang menjadi fokus utama artikel ini, menyebutkan bahwa seni wayang kulit di Bekasi berkembang melalui transmigrasi orang-orang Banyumas atas perintah Sultan Agung pada tahun 1632 atau 1633. Mereka ditugaskan menanam padi di wilayah Karawang, dan akibat konflik pada masa Sultan Amangkurat I, sebagian dari mereka mengungsi ke daerah sekitar Kali Bekasi. Orang-orang inilah yang kemudian memperkenalkan dan mengembangkan seni pewayangan di wilayah Bekasi.

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dan wawancara langsung. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai literatur terkait sejarah budaya Bekasi. Wawancara langsung dilakukan dengan tokoh budaya di Kota Bekasi untuk memperoleh informasi mengenai tantangan dan peluang dalam melestarikan budaya pewayangan.

Pembahasan

Wayang kulit di Kota Bekasi memiliki sejarah yang menjadi bagian penting dari identitas budaya di kota ini. Meskipun ada berbagai pendapat tentang asal usulnya, salah satu teori yang paling relevan adalah pengaruh transmigrasi masyarakat Banyumas pada abad ke-17. Masyarakat Banyumas membawa pewayangan yang kemudian berkembang menjadi ciri khas budaya Bekasi. Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi, seni pewayangan menghadapi tantangan besar untuk tetap bertahan dan relevan.

Asal Usul Budaya Pewayangan di Bekasi

Sejarah budaya Kota Bekasi dimulai dari pemukiman yang didirikan oleh masyarakat Jawa setelah bencana alam besar, seperti letusan Gunung Salak dan Pangrango, yang menyebabkan wilayah ini tenggelam. Berdasarkan pendapat ketiga, munculnya wayang kulit di Bekasi berkaitan erat dengan transmigrasi orang-orang Banyumas ke wilayah Karawang Atas perintah Sultan Agung pada tahun 1632 (atau 1633 menurut beberapa sumber), masyarakat Banyumas dikirim untuk menanam padi demi mencukupi kebutuhan pangan. Setelah terjadinya pertempuran pada masa pemerintahan Sultan Amangkurat I, banyak penduduk Banyumas yang mengungsi ke wilayah barat, termasuk di sekitar Cikeas dan Cileungsi (Kali Bekasi). Mereka inilah yang kemudian diyakini sebagai pihak yang menyebarkan dan mengembangkan seni wayang kulit di Bekasi.

Wayang kulit Bekasi mengadopsi elemen budaya dari Banyumas, termasuk filosofi warna dalam simbol pewayangan: biru melambangkan kekuatan dan kedamaian, merah keberanian, putih kesucian, dan kuning kejayaan. Simbol-simbol ini menjadi bagian dari identitas budaya Bekasi yang unik. Bahkan, ornamen khas seperti umbul-umbul kota menggunakan warna tersebut, bukan pola hitam putih seperti di Bali.

Pentingnya Infrastruktur untuk Kebudayaan

Pembangunan infrastruktur yang mendukung seni dan budaya sangat penting untuk menciptakan ruang di mana kesenian khususnya seni pewayangan dapat terus berkembang. Kota Bekasi perlu memiliki fasilitas khusus, seperti panggung seni atau galeri budaya, yang memungkinkan masyarakat menikmati pertunjukan seni lokal. Pemerintah juga perlu mendorong integrasi elemen budaya dalam desain perkotaan, seperti ornamen jalan dan simbol khas Banyumas, untuk memperkuat identitas budaya kota.

Dalam mendukung pandangan bahwa budaya Bekasi berasal dari Banyumas, R. Iwan Rahmat L, seorang tokoh budaya Bekasi, menyatakan, "Bekasi diselamatkan oleh orang Jawa. Pada saat Gunung Salak dan Pangrango meletus, Bekasi ini tenggelam, Kali Ciliwung tenggelam, dan tidak ada manusia satupun. Yang membersihkan itu orang Jawa, yaitu orang Banyumas. Sri Sultan Agung mengutus masyarakat Banyumas datang ke Bekasi secara sukarela, kali Ciliwung dibersihkan dan dikuras. Jika tidak, bisa jadi Bekasi tidak akan ada. Dari situlah munculnya peradaban, munculnya peradaban itu dari kesenian."

Beliau menambahkan, "Khusus Bekasi, bukan wayang golek tetapi wayang kulit. Kalau Jawa Barat yang lain wayang golek, tetapi khusus Bekasi itu wayang kulit. Dari bajunya dan simbolnya, biru adalah kekuatan dan kedamaian, merah adalah keberanian, putih kesucian, dan kuning adalah kejayaan. Dan itu harus ada simbol dalam pewayangan yang dilakonkan. Umbul-umbul yang ada di Kota Bekasi juga bukan seperti di Bali yang hitam putih, tetapi menggunakan warna yang tadi."

R. Iwan Rahmat L berharap acara pembukaan budaya di Bekasi, seperti wayang kulit dan wayang wong, diiringi dengan umbul-umbul yang sesuai, namun harus diimbangi dengan infrastruktur yang memadai. "Harusnya semua ornamen di Kota Bekasi sesuai dengan budaya aslinya, yaitu Banyumasan. Di pusat kota, dibuatkan wadah kesenian seperti panggung atau ruang kesenian. GOR itu seharusnya dibagi dua, GOR untuk pertunjukan rakyat dan untuk olahraga. Yang bisa menstabilkan keselarasan adalah kebudayaan, yang membuat kita bersatu adalah kebudayaan. Di Kota Bekasi tidak hanya ada Jawa, Betawi, Sunda, tetapi Kota Bekasi adalah kota yang kompleks."

Dalam pertunjukan, dalang di Bekasi disarankan untuk menggunakan bahasa Indonesia agar dapat menjangkau semua lapisan masyarakat di kota yang kompleks ini. Hal ini mencerminkan keberagaman Kota Bekasi, yang terdiri dari berbagai suku, termasuk Jawa, Sunda, dan Betawi.

Kesimpulan

Seni wayang kulit di Kota Bekasi berasal dari transmigrasi masyarakat Banyumas pada abad ke-17, yang membawa tradisi ini ke wilayah Bekasi dan menjadikannya bagian dari identitas budaya lokal. Wayang kulit Bekasi memiliki simbol-simbol khas seperti filosofi warna yang mencerminkan kekuatan, kedamaian, keberanian, kesucian, dan kejayaan, yang membedakannya dari daerah lain di Jawa Barat. Untuk memastikan kelestarian seni ini, diperlukan pengembangan infrastruktur budaya, seperti panggung seni, galeri budaya, dan ruang pertunjukan yang dapat mendukung kegiatan seni lokal. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam pertunjukan wayang sangat penting untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat Bekasi yang beragam, sehingga seni pewayangan tetap relevan dan menjadi simbol persatuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun